Hari Selasa, 15 April 2013 yang lalu, saya menggunakan penerbangan Citilink (“C” huruf kapital menunjukan rasa hormat saya) dari Pangkal Pinang menuju Surabaya. Penerbangan QG-9524 dari Pangkal Pinang menuju Jakarta mengalami keterlambatan selama 30 menit. Hal ini berdampak kepada penerbangan connecting saya selanjutnya dari Jakarta menuju Surabaya (QG-805). Saya (bersama seorang bapak) mengikuti jalur penumpang connecting yang seharusnya, yaitu keluar dari pesawat, menuju bandara C, melapor ke petugas transit, naik ke lantai 2, melakukan prosedur pemeriksaan keamanan bandara (metal detector, x-ray, pemeriksaan oleh petugas), dan akhirnya menuju ruang tunggu C2.
Sesampainya di sana petugas menyatakan bahwa kami tidak bisa naik ke pesawat dikarenakan QG-805 telah di landasan pacu. Kami ditawarkan untuk melakukan reschedule menggunakan QG-813 yang akan terbang 16:15. Dengan demikian total keterlambatan saya adalah 3 jam 5 menit. Dari informasi petugas ruang tunggu, dinyatakan ada 4 (empat) penumpang yang akan melakukan connecting menggunakan QD-805. Karena itu kami menunggu beberapa saat untuk menunggu dua penumpang lain yang “belum melapor” ke petugas ruang tunggu. Karena tidak datang juga, akhirnya kami berdua diminta ke kantor perwakilan Citilink untuk melakukan reschedule. Saya menanyakan apakah bisa diwakilkan oleh petugas Citilink.
Ternyata tidak bisa, sehingga kami (beserta dengan bawaan) harus jalan keluar bandara (meskipun kondisi cukup lelah) sambil ditemani oleh petugas Citilink. Sebagai penumpang yang biasa melakukan connecting flight (transit istilah umumnya), saya dapat memahami keputusan pihak Citilink untuk tetap memberangkatkan QG-805 tanpa menunggu “kami berempat” . Saya sangat menghargai hak penumpang lain untuk mendapatkan pelayanan yang tepat waktu serta pentingnya semua jadwal di bandara dengan trafic padat seperti Soekarno Hatta berjalan sebagai mana mestinya.
Namun yang membuat saya menjadi kritis adalah fakta yang saya temukan bahwa dua orang yang “belum melapor” tersebut ternyata ikut dalam penerbangan QG-805. Informasi tersebut saya dapat dari komunikasi radio petugas check in. Ada beberapa skenario yang terpikir oleh saya saat ini:
1. Kedua penumpang tersebut berlari dengan sangat cepat, mengikuti semua jalur penumpang connecting flight, lalu berhasil ikut dalam penerbangan QG-805. Namun skenario ini terbantahkan karena petugas ruang tunggu dan gerbang C2 menunggu kedua penumpang tersebut untuk bersama kami berdua melakukan reschedule menjadi QG-813.
2. Kedua penumpang tidak mengikuti prosedur yang benar. Saat keluar dari gabarata QG-9524, langsung menuju gabarata QG-805 tanpa diketahui petugas. Bila skenario kedua yang terjadi, hal ini tentu merupakan pelanggaran prosedur (bila Citilink mengadopsi sistem yang sama dengan maskapai lain) atau kelemahan prosedur karena mengizinkan penumpang connecting tidak menjalankan prosedur keamanan bandara. Hal ini dapat saja menjadi cela bagi teroris atau penyelundup dari Indonesia Barat menuju Indonesia Tengah dan Timur.
3. Kedua penumpang langsung menuju gabarata QG-813 didampingi oleh petugas Citilink (beberapa kali saya juga begitu atas izin petugas). Namun skenario inilah yang sangat menyakitkan. Bila skenario ini yang terjadi, maka terjadi ketidaksamaan perlakuan antara penumpang. Apa yang salah dengan kami berdua sehingga kami “ditinggal”, sedang dua yang lain “ditunggu”.
Apakah ini suatu bentuk diskriminasi? (kalimat ini merupakan pertanyaan, bukan pernyataan) Puji Tuhan, saya telah sampai dengan selamat di Surabaya. Saya berterima kasih kepada Bapak Herry Trihono selaku station manager saat itu beserta semua kru citilink lainnya. Namun, sifat kritis saya membawa saya kepada keinginan untuk mengadakan diskusi terbuka dengan pihak Citilink:
1. Apakah pada keterlambatan yang terjadi karena reschedule sepihak oleh pihak maskapai “di detik-detik terakhir”, maskapai tidak punya kewajiban memberi kompensasi? Meskipun saya mendapatkan penggantian penerbangan, saya tetap mendapatkan ketidaknyamanan karena harus menunggu total 3 jam 5 menit.
2. Saya ingin mendapatkan penjelasan terbuka mengenai mekanisme connecting di Citilink. Sungguh sangat nyaman bagi saya untuk tidak perlu mengikuti prosedur yang dijalankan maskapai lain. Keluar dari pesawat, langsung ke ruang tunggu, bahkan ke gabarata penerbangan berikutnya sungguh menghemat energi. (Mungkin bisa dijadikan fasilitas unggulan)
3. Apakah ada perbedaan perlakuan terhadap penumpang di Citilink? Demikian surat pembaca ini saya buat sebagai bahan diskusi. Tidak ada maksud untuk menjelek-jelekan nama Citilink pada surat ini.
Mohon kiranya Citilink dapat memberikan jawaban secara terbuka, agar saya dan seluruh masyarakat dapat memperoleh manfaat dari diskusi ini.
Baca Juga
SuratPembaca
Cari keluhan surat terbuka resmi dan curhat terbaru sebagai sarana komunikasi dari seluruh konsumen untuk produk terkenal di Indonesia.
Hubungi Kami
Silahkan hubungi kami jika ada pertanyaan dan menjadi partner
Jakarta, Indonesia
Jika ada yang merasa tidak sesuai / sebaiknya dihapus, tolong sertakan link yang anda maksud pada halaman ini dan memastikan sumber dari surat pembaca sudah ditutup / masalah terselesaikan / dihapus.
Akan diproses 1 s/d 7 hari.
Kirimkan Masukan
[email protected]
Senin - Jumat
09:00 - 17:00
Sosial