bandara Soekarno-Hatta
Home > Transportasi & Fasilitas Umum > Transportasi Udara > Penanganan (Lambat) Gawat Darurat di Bandara Internasional Soeta

Penanganan (Lambat) Gawat Darurat di Bandara Internasional Soeta


1222 dilihat

Saya adalah dokter muda lulusan Universitas Andalas. Sebagai seorang dokter muda, saya dididik untuk tahu mengenai kegawatdaruratan dan dituntut untuk tahu bagaimana bertindak jika seandainya saya menemui kasus gawat darurat. Kejadian nyaris fatal saya alami sewaktu saya dan ayah saya akan berangkat ke Tokyo dengan Garuda Indonesia dari Terminal 2 E3 Bandara Internasional Soekano-Hatta tanggal 30 Maret 2013. Setelah check-in dan menunggu keberangkatan, sekitar pukul 20.30 ayah saya mengeluh nyeri dada dan sesak nafas. Kebetulan ayah saya selalu mengantongi obat Isosorbid DiNitrat (ISDN) setelah tahun 2011 pernah mengeluh nyeri dada dan melakukan pemeriksaan di RS Harapan Kita. Kebiasaan untuk membawa ISDN ini adalah saran kakak saya yang kebetulan adalah seorang Dokter spesialis jantung.

Setelah mengkonsumsi ISDN yang diletakkan dibawah lidah sebanyak 2 kali, ayah saya masih mengeluhkan nyeri. Maka sesuai panduan Advanced Cardiac Life Support (ACLS) maka ada kemungkinan ayah saya mengalami Myo Cardial Infarction (MCI) dan harus segera mendapat penangan lain berupa pembatasan aktifitas dengan duduk atau berbaring, pemberian oksigen, pemberian tablet aspirin dan transfer ke RS. Saya langsung menghubungi petugas bandara –petugas Lion Air- yang kebetulan ada didekat saya untuk menunjukkan lokasi klinik bandara terdekat. Petugas tersebut mengantarkan saya ke klinik bandara terminal 2E1 dilantai 1.

Ternyata klinik dalam keadaan tertutup dan terkunci, setelah diketok –lebih tepat digedor, keluar seorang paramedis dan mengatakan Dokter sedang keluar dan menyarankan untuk pergi ke klinik terminal 2D1. Bersama papa dan ditemani petugas lion air tadi, kami berjalan ke terminal 2D1 tanpa diberikan bantuan kursi roda ataupun disarankan untuk menunggu di klinik sementara Dokter dihubungi. Setelah berjalan 1 terminal, lagi-lagi saya mendapati klinik dalam keadaan terkunci. Setelah digedor dan tidak ada jawaban, saya putuskan untuk kembali ke klinik di terminal 2E1 dengan diikuti ayah yang masih mengeluh nyeri dada dan terpaksa harus berjalan kaki ke terminal sebelumnya.

Di klinik terminal 2E1 saya kembali menemui paramedis yang tadi, paramedis tersebut menyatakan dokter sudah ada dan meminta saya untuk menunggu karena dokter sedang makan. Setelah saya memaksa dan menjelaskan bahwa ayah saya mengalami serangan jantung, dokter tersebut mulai memeriksa. Paramedis memasang slang oksigen, kemudian saya meminta untuk segera dilakukan pemeriksaan tanda vital dan pemasangan infus. Karena merasa penanganannya agak lambat dan tidak sesuai dengan kaidah penanganan gawat darurat jantung, saya sendiri kemudian memasang manset pengukur tekanan darah dan mengambil cairan infus di lemari penyimpanan obat dengan harapan agar tanda vital dapat segera diukur dan infus dapat segera dipasang.

Selagi petugas paramedis memasang infus, saya menghubungi kakak saya via telepon dan mendapat saran untuk dilakukan pemeriksaan sadap jantung (EKG), pemberian aspilet, clopidogrel dan injeksi morfin atau pethidin. Yang mengagetkan adalah tidak satupun dari obat-obat tersebut yang tersedia dan juga tidak ada alat sadap jantung. Karena alasan ini, ditambah infus yang gagal terpasang maka saya putuskan untuk segera membawa ayah saya ke RS Harapan Kita. Saya meminta untuk disediakan ambulans untuk transfer ayah saya. Setelah menunggu 30 menit, ambulans tidak muncul. Saya ambil keputusan untuk membawa ayah saya menggunakan mobil lain atau taksi.

Saya sampaikan hal ini kepada petugas medis dan saya diminta untuk menunggu sebentar lagi dan juga ‘kalau memakai taksi, bagaimana dengan tabung oksigennya?’ kata petugas medis yang menurut saya berarti mereka keberatan jika saya pergi membawa tabung oksigen. Setelah 1 jam ambulan akhirnya datang dan ayah saya dibawa menuju RS Harapan Kita, tapi didalam ambulan, lagi-lagi obat yang dibutuhkan tidak tersedia. Didalam ambulan ayah saya hanya diberikan oksigen. Akhirnya setelah 2 jam ayah saya sampai ke RS Harapan Kita dan dinyatakan mengalami infark miokard anterior dan harus segera dilakukan tindakan kateterisasi dan pemasangan stent jantung untuk menyelamatkan nyawanya.

Dari pengalaman ini, saya jadi takjub dan bertanya-tanya kenapa bandara sekelas bandara internasional Soekarno-Hatta yang notabene bandara terbaik se-Indonesia tidak memiliki sarana layanan yang bahkan bersifat bantuan hidup dasar? Di beberapa sudut bandara saya melihat etalase kaca berisi alat kejut jantung otomatis AED (Automated External Defibrilator), tapi bagaimana bisa bandara ini memiliki petugas medis yang bersikap seolah-olah tidak mengerti mengenai pentingnya tindakan amat segera untuk kasus gawat darurat? Ayah saya termasuk orang yang sangat beruntung karena masih bertahan selama 2 jam dari serangan jantung hanya dengan bantuan seadanya.

Sebagai catatan, ayah saya mengalami infark miokard jenis STEMI yang jika diberikan tablet aspilet –hanya seharga Rp. 80,-/butir dalam 10 menit pertama dapat menurunkan angka kematian sebesar 30%. Banyak hal yang bisa saya sesalkan, tapi dari pengalaman ini saya berharap ada perbaikan dari pihak bandara. Pertama perbaikan dari segi tenaga medis. Tenaga medis yang terlatih, telah melalui kursus BCLS (Basic Cardiac Life Support) dan BTLS (Basic Trauma Life Support) untuk paramedis dan kursus ACLS (Advanced Cardiac LifeSupport) dan ATLS (Advanced Trauma Life Support) untuk dokter dan perawat.

Kursus-kursus ini merupakan syarat utama untuk tenaga medis agar dapat bekerja di RS atau perusahaan. Perlu dicatat bahwa Kolegium Ilmu Penyakit Kardiovaskular Indonesia sebagai penyelenggara BCLS/ACLS dan Kolegium Ilmu Bedah Indonesia sebagai penyelenggara BTLS/ATLS memberikan sertifikat untuk jangka waktu 5 tahun, tentu dengan maksud agar setiap paramedis dan dokter harus selalu mengulang dan memperbaharui ilmu mereka. Jika telah melewati kursus ini, setiap tenaga medis akan memiliki sense of emergency sehingga mereka akan tanggap dan bertindak sigap karena mengetahui bahaya yang mengancam dibalik keterlambatan tindakan.

Perbaikan selanjutnya yang saya harapkan tentu saja dari ketersediaan alat-alat medis. Dalam konsep ACLS dan ATLS, ada alat-alat dan obat-obat emergensi yang minimal harus ada pada suatu klinik. Disayangkan sekali bandara internasional kita –sepanjang pengamatan saya selama berada dalam klinik hanya memiliki 1 kantong cairan infus dalam lemari obatnya. Bahkan tenaga medis yang mumpuni sekalipun akan kesulitan menangani kasus gawat darurat dengan fasilitas seperti itu. Ketersediaan alat medis juga saya harapkan ada di dalam ambulan sehingga bantuan hidup yang telah diberikan dilokasi kejadian dapat dilanjutkan selama proses transfer pasien.

Dalam menghadapi 2 jam terlama dalam hidup, saya berterimakasih pada seorang petugas lion air (Reza) yang kebetulan berada disana dan seorang petugas Garuda Indonesia (Hasan) yang telah memberikan bantuan mengantar ke klinik bandara dan juga mengurus pembatalan tiket dan pengambilan kembali bagasi kami. Semoga dimasa datang, penumpang yang mengalami kejadian seperti ayah saya akan mendapatkan pelayanan gawat darurat yang lebih cepat dan lebih baik.

Mefri Yulia, SKed
Jalan Aur Duri Indah II/11
Padang




Source : kompas


Baca Juga





SuratPembaca

Cari keluhan surat terbuka resmi dan curhat terbaru sebagai sarana komunikasi dari seluruh konsumen untuk produk terkenal di Indonesia.

Hubungi Kami

Silahkan hubungi kami jika ada pertanyaan dan menjadi partner
Jakarta, Indonesia

Jika ada yang merasa tidak sesuai / sebaiknya dihapus, tolong sertakan link yang anda maksud pada halaman ini dan memastikan sumber dari surat pembaca sudah ditutup / masalah terselesaikan / dihapus.
Akan diproses 1 s/d 7 hari.

Kirimkan Masukan

[email protected]
Senin - Jumat
09:00 - 17:00

Sosial