Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga hukum tertinggi yang merupakan benteng terakhir penegakkan konstitusi di Negara ini, sejatinya dapat memberikan keadilan dan melindungi hak konstitusi setiap warga negara. Sungguh ironis ketika Lembaga Negara yang lahir dari rahim reformasi ini, justru menjadi tempat praktek mafia hukum dan peradilan.
Belum lepas dari ingatan kita sebuah skandal memalukan yang dilakukan oleh mantan Ketua MK Akil Mochetar dalam menangani perkara sengketa Pilkada. Skandal Akil menjadi tamparan keras bagi seluruh petinggi di negara ini, dan sontak menjatuhkan kewibawaan MK. Konon katanya skandal Akil Moechtar menjadi trauma bagi hakim konstitusi saat ini, dan berkomitmen tidak ada lagi kasus serupa di MK.
Pertanyaannya, apakah saat ini MK benar-benar bersih dan jauh dari praktek mafia?
Memang, dalam menangani kasus-kasus besar yang menjadi pusat perhatian diskala nasional, MK tampak bersikap objektif. Namun pada beberapa kasus yang luput dari perhatian publik dimana media, NGO, aktivis, tokoh dan pemerhati sebagai fungsi kontrol tidak melirik kasus yang dianggap tidak populer, hal ini menjadi celah bagi hakim MK untuk bermain.
Mari kita lihat perkara sengketa Pilkada Muna 2015 yang belum berakhir hingga saat ini. Pada perkara PHP Kada Muna, sangat nampak ada aroma kongkalingkong yang dimainkan oleh hakim MK dengan mengeluarkan putusan yang jauh dari logika hukum. Bagaimana tidak, pada sengketa pilkada Muna MK memutuskan Pemungutan Suara Ulang (PSU) lagi hanya berdasarkan keterangan sepihak aparat kelurahan yang tanpa melalui persidangan dan belum teruji kebenarannya. Padahal sebelumnya lembaga resmi negara yang dibentuk khusus untuk Pemilu/Pilkada dalam hal ini KPUD Kabupaten Muna, KPUD Provinsi Sulawesi Tenggara, KPU RI, Panwaslu Muna, Bawaslu telah memberikan laporan pada sidang MK dengan agenda mendengarkan Keterangan para pihak, dimana seluruhnya menyatakan bahwa secara umum pelaksanaan PSU jilid1 berjalan baik, lancar dan sesuai prosedur. Bagaimana bisa keterangan aparat kelurahan, mementahkan laporan lembaga resmi ini yang sebelumnya turun dan memantau langsung jalannya pelaksanaan PSU.
Alasan dikeluarkannya PSU lagi oleh MK didasari keterangan aparat kelurahan yang menyebutkan adanya pemilih yang bukan warga setempat, pemilih ganda dan fiktif. Seharusnya MK tidak menerima mentah-mentah keterangan tersebut. Mestinya untuk memenuhi keadilan prosedur, MK membawa keterangan aparat kelurahan tersebut ke persidangan untuk memberi kesempatan kepada semua pihak yang terkait untuk memberikan keterangan. Hal ini sungguh diluar kewajaran. Ada apa dengan MK? Wajar jika MK saat ini dituding ada penerus Akil Moechtar.
Perlu diketahui bahwa sebelumnya KPU Sultra dan KPU RI, Bawaslu turun langsung mengikuti jalannya PSU di Muna. Begitu juga pihak Kementrian Dalam Negeri ikut memantau langsung jalannya PSU di 3 TPS yang bermasalah. Pada seluruh proses PSU mulai dari validasi DPT dan tahapan lainnya selalu melibatkan ke tiga pihak Pasangan Calon sebagai kontestan Pilkada Muna. Pihak kepolisian juga melakukan pengamanan secara ketat dan masyarakat proaktif ikut memantau dan mengawasi jalannya PSU.
Menyikapi masalah Pilkada Muna, kami mengajak media, NGO, dan seluruh elemen bangsa ini, mari bersama-sama melihat dan mengusut masalah ini. Ini bukan masalah Pilkada Muna, bukan masalah masyarakat Kabupaten Muna saja, ini kasus besar. Ini masalah integritas sebuah lembaga hukum tertinggi penegak konstitusi, ini adalah masalah penegakan demokrasi di negara ini.
SalamBaca Juga
SuratPembaca
Cari keluhan surat terbuka resmi dan curhat terbaru sebagai sarana komunikasi dari seluruh konsumen untuk produk terkenal di Indonesia.
Hubungi Kami
Silahkan hubungi kami jika ada pertanyaan dan menjadi partner
Jakarta, Indonesia
Jika ada yang merasa tidak sesuai / sebaiknya dihapus, tolong sertakan link yang anda maksud pada halaman ini dan memastikan sumber dari surat pembaca sudah ditutup / masalah terselesaikan / dihapus.
Akan diproses 1 s/d 7 hari.
Kirimkan Masukan
[email protected]
Senin - Jumat
09:00 - 17:00
Sosial