Saya Utami, ibu rumah tangga dengan suami bernama Haryanto (35) bekerja sebagai tenaga kesehatan di salah satu rumah sakit swasta di Bekasi. Setelah dirawat 5 hari suami saya meninggal dengan status Covid-19. Izinkanlah saya berbagi cerita, tanpa menyudutkan pihak manapun.
Di awal cerita ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, yang telah membantu dari awal suami saya sakit hingga dimakamkan di Pemakaman Umum Tegal Alur Cengkareng.
Jika memang ada hal yang menyedihkan yang saya dan suami alami ketika dalam perawatan, saya sudah mengiklaskan dan semua adalah jalan takdir yang harus saya alami.
Kronologis dimulai pada Jumat, 25 September 2020 ketika suami mengalami gejala sakit. Saya mengantar ke rumah sakit tempat suami bekerja dengan harapan mendapat pelayanan baik sebagai tenaga kesehatan di tempatnya bekerja.
Pada 25 September 2020 sekitar pukul 21:30 sampai di rumah sakit, saya mendaftar seperti layaknya pasien umum dengan menggunakan BPJS di UGD. Setelah menunggu sekitar 20 menit dokter jaga menghampiri dan menanyakan keluhan pasien. Oleh karena suami sesak dan bantuk, jadi saya yang menjelaskan segala keluhan.
Dokter langsung berkesimpulan kalau ini gejala Covid-19 sehingga dia tidak bisa ambil tindakan dan harus di swab. Saya minta untuk dilakukan swab, tapi dokter jaga menjawab dirinya tidak punya wewenang, kecuali atas seizin dari MR (pimpinan rumah sakit tempat suami saya bekerja).
Dia juga menjelaskan bahwa swab di rumah sakit tersebut harus bayar atau tidak gratis. Saya cemas dengan kondisi suami. "Bayar tidak apa asal bisa dilakukan tindakan," kata saya, karena saya memang berniat mencari kesembuhan bukan gratisan.
Namun dokter itu menimpali, "sebaiknya di puskes saja siapa tahu gratis atau lebih murah," katanya. Saya masih kekeh minta diperiksa, saya masih berharap bahwa suami bukan terkena Covid-19.
Dengan setengah menghardik, dokter jaga itu bilang, "gak usah ,gak usah bawa pulang saja, Senin saja kalau mau periksa, karena besok Sabtu dan Minggu libur," ujarnya. Akhirnya kami pulang.
Yang membuat saya bertanya tanya adalah dokter tersebut seakan akan mendiagnosa suami saya Covid-19 tanpa dilakukan PCR/swab terlebih dahulu. Sebenarnya melihat kondisi suami yang sangat lemah, batuk, sesak dan disarankan pulang ke rumah hati saya sangat gelisah.
Malam itu kami pulang dengan tangan kosong, tanpa hasil pemeriksaan diagnostik, dan tanpa diagnosa yang jelas. Perjalanan kami 1 jam ke rumah sakit seakan sia-sia.
Masih teringat ketika suami saya minta resep paracetamol kemudian dokter memberikan resep itu dengan penjelasan bahwa resep itu tidak di-cover oleh BPJS. Sebenarnya tidak masalah, hanya paracetamol dan saya masih bisa untuk membayarnya.
Sabtu, 26 September 2020 kondisi suami memburuk, wajahnya pucat, demam tinggi dan keringat membasahi badannya. Saya putuskan ke Rumah Sakit Atmajaya. Sampai di UGD pukul 13.00 berharap mendapat kejelasan akan sakit suami saya.
Alhamdulillah di rumah sakit ini kami dilayani dan dimanusiakan. Hasil CT scan paru, rotgen dan darah lengkap. Suami saya juga diinfus dan sempat tertidur lelap dan nyaman.
Waktu itu rawat inap penuh dan kondisi UGD juga penuh. Pihak Rumah Sakit Atmajaya menyanggupi untuk mencarikan rujukan ke rumah sakit lain, asalkan bersedia menunggu di UGD.
Namun, karena kondisi UGD yang penuh dan tidak memungkinkan suami saya menunggu rujukan di UGD, saya dan suami memilih pulang dengan rencana hasil pemeriksaan di Rumah Sakit Atmajaya akan saya infokan ke rumah sakit tempat suami saya bekerja agar bisa dirawat selayaknya.
Padahal kami berdua berharap bisa dirawat di rumah sakit ini. Sekitar pukul 18.00 kami pulang. Malamnya tanpa sepengatuan suami saya, saya WA dokter penanggung jawab ruangan di rumah sakit tempat suami saya bekerja yaitu dr L ( proud of you dokter and thank you).
Hasil pemeriksaan di Rumah Sakit Atmajaya saya share malam itu dan akhirnya dokter tersebut membujuk suami saya untuk mau dirawat di rumah sakit tempat dia bekerja.
Sebenarnya suami saya sudah sangat kecewa dan tidak mau, namun karena motivasi dari saya dan keinginan untuk sembuhnya sangat tinggi, akhirnya suami saya mau kembali lagi.
Minggu, 27 September 2020 saya ke rumah sakit tempat suami saya bekerja dengan membawa hasil pemeriksaan di Rumah Skit Atmajaya.
Dokter UGD-nya berbeda dengan yang hari Jumat ketika pertama kali datang kemarin. Ada satu kejadian yang sulit dilupakan, yaitu ketika suami saya mau buang air besar (BAB) di toilet UGD, sang dokter melarang dengan alasan itu toilet umum bukan toilet pasien covid.
Padahal suami saya saat itu belum di SWAB, para perawat pun membela suami saya dan mempersilahkan suami saya untuk memakai toilet itu.
Akhirnya suami saya dirawat, hari demi hari kondisinya terus menurun. Dari hari ke 1 sampai dengan hari ke 4 sesaknya tidak berkurang. Pada 30 September suami saya dipasang ventilator.
Di hari ke empat suami terjatuh dari tempat tidur hingga kepalanya terluka dan harus dijahit. Menurut penjelasan perawat jaga, suami saya terjatuh karena perburukan. Lewat video call saya bisa lihat ada 2 luka sobek di pelipis matanya, dan harus dijahit (saat itu hati saya sangat teriris, orang yang sedang dirawat dan lemah dan ada luka baru lalu dijahit ).
Saya semakin khawatir dengan kondisi suami. Akhirnya saya dan kakak ipar saya menuju rumah sakit untuk melihat kondisi suami saya (walaupun dari luar).
Setelah sampai, pihak rumah sakit berencana merujuk suami saya ke rumah sakit yang lebih lengkap dan memadai. Jam 18.00 Alhamdulillah mendapat rumah sakit rujukan yaitu RSUD Kota Bekasi .
Ketika masuk ambulance, saya masih bisa melihat suami saya dengan kondisi sadar, hati saya tenang waktu itu.
Kamis, 1 Oktober 2020 sekitar jam 19.00, suami tiba di RSUD Bekasi. Dan inilah usaha semaksimal kami. Kurang dari 24 jam di RSUD Bekasi, Allah berkehendak lain.
Jumat, 2 Oktober2020 sekitar pukul 07.00, suami meninggalkan kami, Innalillahi wainnaliliahi rojiun.
Dengan cerita ini, saya tidak bermaksud menyudutkan atau menyalahkan siapapun, tapi hanya berbagi cerita. Selain menggugah empati kita semua untuk para nakes yang ada di garda terdepan menghadapi kondisi ini.
Bahwa pasien covid juga manusia, berharap diperlakukan sebagai manusia. Apalagi suami saya tenaga kesehatan. Tidak ada yang mau terinfeksi Covid-19.
Namun, suami saya telah dipilih oleh Allah SWT menjalani takdirnya. Mudah-mudahan suami saya pergi sebagai syuhada dan berada ditempat terindah di sisi Allah SWT.
Terima kasih sebesar-besarnya untuk rumah sakit, para dokter, rekan-rekan rumah sakit yang sudah merawat dan memberi dukungan untuk suami dan saya selama di UGD, ruang isolasi sampai di Pemakaman Tegal Alur Cengkareng. (IRA)
Baca Juga
SuratPembaca
Cari keluhan surat terbuka resmi dan curhat terbaru sebagai sarana komunikasi dari seluruh konsumen untuk produk terkenal di Indonesia.
Hubungi Kami
Silahkan hubungi kami jika ada pertanyaan dan menjadi partner
Jakarta, Indonesia
Jika ada yang merasa tidak sesuai / sebaiknya dihapus, tolong sertakan link yang anda maksud pada halaman ini dan memastikan sumber dari surat pembaca sudah ditutup / masalah terselesaikan / dihapus.
Akan diproses 1 s/d 7 hari.
Kirimkan Masukan
[email protected]
Senin - Jumat
09:00 - 17:00
Sosial