Jakarta - Berikut ini adalah tanggapan saya tentang berita yang termuat di
detikhealth yang berjudul '
Bolehkah Pendidikan Dokter Disponsori Pabrik Obat?'
Bila dibandingkan dengan dari negara lain, pendidikan kedokteran mempunyai aturan yang jelas, bahkan ada batas maksimum calon dokter boleh meluangkan waktu di rumah sakit. Tidak seperti disini yang bisa berhari-hari menginap di rumah sakit. Dengan jam kerja 24 jam selama beberapa minggu "tanpa dibayar". Bahkan beruntung kalau memperoleh ucapan terima kasih.
Untuk jadi seorang dokter umum butuh perjuangan yang lama, biaya mahal, waktu dan pikiran terkuras dengan penghargaan yang tidak setimpal. Sekarang boleh diliat, dilema mahasiswa kedokteran sudah berubah dari "pintar" menjadi "kaya".
Karena sekarang tidak harus pintar untuk menjadi mahasiswa kedokteran, karena yang pintar tidak bisa masuk dengan alasan biaya masuk yang sedemikian besarnya. Belum biaya
on-going sampai jadi dokter.
Bahkan untuk pendidikan dokter umum yang diharuskan untuk magang sebelum diizinkan praktik penuh sebagai seorang dokter yang menurut saya suatu pelecehan. Dokter umum sudah hampir tidak dihargai. Dengan uang duduk yang minim, sekarang harus bersaing dengan calon dokter magang, dimana pengelola tidak harus ambil pusing untuk memikirkan gaji mereka. Kalau sudah begini, dokter umum apa jadinya? Lebih baik pakai dokter magang daripada dokter umum. Dokter magang sudah setingkat dokter umum.
Untuk yang mengambil spesialisasi atau bahkan subspesialisasi, mereka mendapatkan gaji dari hosting institution tempat mereka belajar. Tidak seperti di Indonesia, untuk masuk spesialisasi saja saya harus membayar puluhan juta. Bahkan teman saya yang diterima di program studi spesialis paling bergengsi (kandungan) harus membayar ratusan jutarupiah. Dan itu belum termasuk biaya senioritas. Harus memuaskan "maunya" senior.
Otherwise, hukuman tambah jaga, hukuman ilmiah, atau hukuman aneh lainnya.
Bisa kita liat dari alasan itu bahwa untuk pendidikan kedokteran disini sangat mengenaskan, apalagi untuk riset? Darimana kita bisa perform riset kedokteran? Dilain pihak, apa bisa ilmu pengetahuan berkembang tanpa riset? Apa kita harus mengharapkan hasil riset dari negara lain sedangkan kita punya pola dasar yang berbeda? Sejauh yang saya pahami, riset kedokteran di Indonesia dilakukan seminimal mungkin levelnya untuk mengurangi biaya. Atau kita harus apply beasiswa untuk memperoleh research funding. Dalam hal ini kita harus excellent! Sedangkan ide-ide cemerlang tidak hanya datang dari orang-orang excellent.
Apa boleh buat, peran rekanan (obat) sangat membantu. Kalau dilihat lagi, yang kita pertaruhkan tidak lebih dari sekedar NYAWA! Yang saya sendiri akan memberikan apa saja yang saya punya untuk tetap memilikinya. Beda dengan bidang lain yang menurut saya tidak begitu vitalnya. Tapi apa boleh buat, sepertinya urusan nyawa nomor sekian dibandingkan dengan urusan lain.
Yang lebih tragis lagi, sekarang dokter sudah sedikit mengurangi reaktivitasnya terhadap treatment ke pasien. Selain dengan timbal balik yang tidak setimpal ditambah dengan ancaman tuntutan sana-sini. Ada sistem Jamkesmas atau asuransi untuk orang yang kurang mampu yang disediakan oleh pemerintah. Dan dari nama dan sumbernya bisa dibayangkan bagaimana dokter bisa dihargai, dengan ancaman tuntutan dimana-mana. Memang kita harus berusaha bertindak dalam garis yang benar. Tapi tanpa riset, apa kita bisa yakin bahwa riset yang dilakukan orang lain benar untuk kita?
Kita selalu menganalogikan dokter dengan penghasilan besar. Benarkah itu? Bisa dibuka mata lebih lebar, banyak dokter yang miskin, karena tidak diberi reward sepantasnya. Apakah setimpal segala yang telah kita lakukan dan keluarkan selama pendidikan dengan apa yang didapatkan?
M. Helmi MD, MSc, Anesthesiologist PhD Research Fellow
Intensive Care Adults Erasmus MC, Kamer H602 's Gravendijkwal 230,
3015CE? Rotterdam The Netherlands
*****@****.***(wwn/wwn)