Home > Pemerintah > Administrasi > Pungli SKCK di Polres Lampung Selatan

Pungli SKCK di Polres Lampung Selatan


735 dilihat

Kepada Bapak Kepala Kepolisian Resor Lampung Selatan,

Saya menulis ini dengan sedikit rasa takut. Takut rumah saya didatangi polisi lantas orangtua saya resah diinterogasi. Atau saya takut, suatu hari, kalau saya mengurus SKCK di Polres Lampung Selatan, saya akan dipersulit.

Tentu tidak sulit mencari alamat saya di mana, karena sidik jari dan data pribadi sudah ada di Intelkam Polres Lampung Selatan. Tapi kecintaan saya terhadap orang-orang “bersih” di Polres Lampung Selatan, menggerakkan saya untuk menulis surat ini.

Lagipula, Pak Jaya yang bertugas di Binmas Polres Lamsel berujar, kalau keluhan disampaikan dengan sopan, tidak ada masalah.

Kemarin, 30 Desember 2013, saya berkesempatan mengunjungi kantor bapak untuk pertama kalinya. Hendak membuat SKCK. Kedatangan saya disambut azan zuhur, maklum saya datang dari Natar. Sedikitnya butuh waktu tiga jam dengan kendaraan umum untuk sampai ke kantor bapak.

Saya terlebih dahulu mengurus pembuatan kartu sidik jari. Tapi karena Pak Sofyan bekerja sendirian, saya berinisiatif untuk langsung membuat SKCK pada waktu yang sama.

Di tempat pembuatan SKCK, saya bertanya pada seorang petugas perempuan “Apakah boleh membuat SKCK tanpa kartu sidik jari?”. Perempuan muda itu bilang, “Boleh”. Maka saya ikuti prosesnya.

Beberapa menit kemudian, SKCK saya dan beberapa orang telah jadi. Saya lihat petugas perempuan di sebelahnya yang berkulit putih, berambut pendek, tinggi, dan terlihat langsing, entah siapa namanya (saya tidak memperhatikan nametag-nya) meminta bayaran Rp30 ribu.

Saya keluar ruangan, membaca kembali banner TARIF BIAYA ADMINISTRASI PEMBUATAN SKCK. Berdasarkan PP No. 50 Tahun 2010, tanggal 25 Mei 2010, penerbitan SKCK Rp10.000. Berlaku sejak tanggal 26 Juni 2010.

Saya kira, tidak perlu harus lulus dari Fakultas Hukum untuk sekadar mengetahui bahwa sebuah peraturan masih berlaku sebelum peraturan itu diganti/dicabut oleh peraturan lainnya.

Tapi, untuk memastikan kebenaran mata saya atas isi banner yang terpampang jelas depan Interkam itu, saya ke ruang sebelah kanan, bertanya dengan beberapa petugas di sana “Pak, peraturan yang di banner itu masih berlaku nggak?”

Lucunya, salah seorang bapak berkemeja putih menjawab “Kurang tau, silakan tanya ke samping.” Jadi, saya disuruh bertanya pada petugas perempuan di tempat pembuatan SKCK.

Saya kembali ke loket SKCK. Rupanya petugas perempuan di situ tahu kalau saya sedang mempertanyakan PP No. 50 Tahun 2010, tanggal 25 Mei 2010 itu. Ia langsung bersikap arogan. Kami sedikit mendebat peraturan itu dan berujung pada penahan SKCK saya oleh petugas itu. Dia meminta saya untuk menyelesaikan pembuatan kartu sidik jari, baru SKCK saya dia serahkan.

Saya sudah jelaskan pada perempuan itu, yang saya butuhkan saat ini adalah SKCK, bukan kartu sidik jari. Saya juga harus pulang cepat karena saya dari Natar, perempuan, dan sendirian.

Pak, sebelumnya petugas di sebelahnya pun telah memperbolehkan penerbitan SKCK tanpa kartu sidik jari.

Seorang laki-laki di depan saya bilang begini “Sudah, bayar aja. Daripada dipersulit.”

Saya lantas tersenyum atas kata-kata orang tadi. Bahkan seseorang masih merasa lebih aman di pinggir jalan dripada di kantor polisi. Bukankah saya patut mengucap “innalillahi wa innailaihi roji’un” atas kebobrokan ini?

Meski pada akhirnya, hampir jam 5 sore, ada seorang bapak berkemeja putih yang mencari saya dan menyuruh saya mengambil SKCK, kemudian saya tidak dipungut biaya atas SKCK itu, entah kenapa, saya tetap memikirkan hal ini.

Bukankah sangat MIRIS ketika SKCK saya ditahan lantaran saya SEKADAR bertanya “Apakah PP No. 50 Tahun 2010, tanggal 25 Mei 2010 yang terpampang di banner itu masih berlaku?”

Untuk mendapatkan SKCK dari kantor bapak yang HANYA seharga Rp10 ribu, saya telah menempuh beberapa pungutan,

-          Surat pengantar dari Desa Rp25 ribu (surat ini sama sekali tidak diminta/ditanya/digunakan)

-          Surat pengantar dari Polsek Rp20 ribu (petugasnya bilang “seiklasnya”)

-          Pembuatan kartu sidik jari Rp25 ribu

-          Itu belum ditambah ongkos naik kendaraan umum dari Natar, sendirian.

-          Bis Rp20 ribu, ojek Rp5 ribu.

-          Pulangnya saya terpaksa naik travel dengan membayar Rp35 ribu karena saya baru keluar dari Polres hampir jam 5 sore akibat SKCK saya ditahan oleh seorang perempuan di tempat pembuatan SKCK di kantor yang bapak pimpin.

Ya, silakan bapak dan orang-orang yang bapak pimpin di Polres Lampung Selatan TERTAWA atas uraian pengeluaran saya untuk SKCK yang hanya Rp130 ribu. Belum lagi ditambah biaya sakit maag karena menahan lapar. Maka, silakan TERTAWA.

Itu sedikit bukan? Ya, itu memang SEDIKIT.

Saya yakin, bahkan seorang petugas kebersihan di kantor bapak mampu membeli makan siang seharga Rp130 ribu setiap harinya. Karena memang Rp130 ribu itu sedikit. Lalu mengapa harus ada tambahan pungutan liar pada pembuatan SKCK di Polres Lampung Selatan senilai Rp20 ribu?

Mengapa kita --yang sanggup mengeluarkan uang ratusan ribu untuk makan siang-- harus menyelipkan makanan haram senilai 20 ribu. Tidakkah kita sayang dengan lambung kita?

Saya yakin, para bapak-ibu yang terhormat, yang tampak “wah” dengan lencananya di Polres Lampung Selatan masih mengenal kata HALAL dan HARAM.

Pak, sejatinya yang menjadi IRONI buat saya bukan Rp130 ribu, tapi kami di “tege”/dicuri/dirampok BUKAN DI PINGGIR JALAN, tapi di Kantor Polres Lampung Selatan, di mana seharusny -dalam pikiran saya- peraturan (terlebih terpampang jelas di depan ruang tempat pembuatan SKCK) direalisasikan. Maka bukankah yang patut saya katakan adalah “Innalillahi wa innailaihi roji’un.”

Saya mohon, TOLONG kunjungi bagian Intelkam. Lihatlah banner besar bertulis TARIF BIAYA ADMINISTRASI PEMBUATAN SKCK. Berdasarkan PP No. 50 Tahun 2010, tanggal 25 Mei 2010, penerbitan SKCK Rp10.000. Kemarin, banner itu masih terpampang jelas dan gagah. Setiap orang yang membuat SKCK pasti membaca tulisan itu.

Pak, dengan penuh rasa hormat, tolong tegur oknum petugas di Intelkam itu. Supaya tidak memakan uang haram yang “hanya” Rp20 ribu.

Sekiranya dia perempuan yang sedang menyusui seorang bayi, alangkah kasihan bayinya. Meminum air susu dari ibu yang makan siangnya tercampur uang haram yang HANYA senilai Rp20 ribu.

Sekiranya dia masih gadis dan sering membawakan kedua orang tuanya makanan, maka alangkah kasihan ibu-bapaknya. Kasih sayang mereka dibalas dengan makanan dari uang haram. Innalillahi wa innailaihi roji’un.

Saya harap bapak tidak memandang sebelah mata atas hal “sepele” ini. Sungguh, perilaku seorang oknum di kantor Bapak, layaknya nila setitik yang merusak susu sebelanga. Ia merusak nama baik institusi yang bapak pimpin.

Sekiranya setiap orang -yang mengurus SKCK kemarin- hanya datang sekali saja seumur hidup ke kantor Anda, selamanya yang terekam di benaknya adalah “kebobrokan” penegakan aturan PP No. 50 Tahun 2010, tanggal 25 Mei 2010, tentang penerbitan SKCK di Kantor Polres Lampung Selatan dan perilaku tidak menyenangkan dari petugas penerbitan SKCK di Polres Lampung Selatan. Setidaknya, saya tidak akan pernah lupa hal itu.

Terima kasih telah membaca surat ini. Mohon maaf atas kejujuran dan keterusterangan saya. Sekiranya jujur dan terus terang masih diterima di negeri kita tercinta.


 




Source : okezone


Baca Juga





SuratPembaca

Cari keluhan surat terbuka resmi dan curhat terbaru sebagai sarana komunikasi dari seluruh konsumen untuk produk terkenal di Indonesia.

Hubungi Kami

Silahkan hubungi kami jika ada pertanyaan dan menjadi partner
Jakarta, Indonesia

Jika ada yang merasa tidak sesuai / sebaiknya dihapus, tolong sertakan link yang anda maksud pada halaman ini dan memastikan sumber dari surat pembaca sudah ditutup / masalah terselesaikan / dihapus.
Akan diproses 1 s/d 7 hari.

Kirimkan Masukan

[email protected]
Senin - Jumat
09:00 - 17:00

Sosial

suratpembaca apps