Jakarta - Seiring akan berakhirnya "Sunset Policy" 2008 keresahan Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di luar negeri semakin memuncak. Hal ini terlihat dari diskusi-diskusi di "mailing list" kumpulan WNI di luar negeri atau forum-forum diskusi di internet. Kebingungan akan kejelasan status "Subyek Pajak" bagi mereka yang bekerja di luar negeri adalah sumber dari keresahan mereka akhir-akhir ini.
Apakah mereka digolongkan sebagai Subyek Pajak Luar Negeri (SPLN). Ataukah mereka termasuk sebagai Subyek Pajak Dalam Negeri (SPDN). Jawaban atas pertanyaan ini sangat menentukan kelangsungan hidup mereka.
Jika mereka digolongkan sebagai SPDN maka pendapatan mereka yang didapat di luar negeri harus dilaporkan dalam SPT di Indonesia dan atas pendapatan ini mereka dikenakan tarif pajak di Indonesia. Tanpa memperhitungkan besarnya biaya hidup di Negara dimana WNI itu bekerja.
Ambil contoh berikut sebagai ilustrasi. Badu (bukan nama sebenarnya) sejak terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan tempat dia bekerja di Indonesia 3 tahun lalu telah mengadu nasib di Singapura dan bekerja sebagai STAFF- IT Junior di sebuah perusahaan di Singapura. Badu mempunyai seorang anak dan Istri, yang karena alasan ekonomi (tingginya biaya hidup di Singapura), mereka tetap tinggal di rumahnya di Indonesia. Dan, Badu hanya mengunjungi anak istrinya di Indonesia selama beberapa hari setiap 2 bulan sekali.
Sebagai Staff Junior Badu memperoleh pendapatan sebesar SGD 3000, 13 kali gaji dalam setahun. Dengan demikian Total pendapatan Badu selama setahun adalah SGD 39000 (setara Rp 273 juta per tahun dengan kurs 1 SGD = Rp 7,000).
Kalau dilihat dari besaran rupiah memang gaji yang didapat Badu terlihat besar. Tapi,? mengingat tingginya biaya hidup di Singapura setelah dikurangi biaya hidup di Singapura, dan biaya hidup anak istri di Indonesia, pendapatan sebelum pajak yang bisa di sisihkan Badu hanyalah sekitar 10% dari total pendapatannya per tahun.
Di Singapura, mengingat tingginya biaya hidup di sana, pendapatan tidak kena pajak yang ditetapkan pemerintah Singapura adalah SGD 20,000. Dengan memperhitungkan pendapatan tidak kena pajak tersebut pajak yang dibebankan kepada Badu di Singapura adalah sebesar (kurang lebih) SGD 845/ tahunnya. Atau hanya sekitar 2% dari total pendapatannya per tahun. (sumber perhitungan http://www.iras.gov.sg/irasHome/page03.aspx?id=1190).
Nah, seandainya Badu digolongkan sebagai SPDN maka Badu juga harus melaporkan pendapatannya kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Indonesia dengan perhitungan tarif pajak di Indonesia tanpa mempertimbangkan tingginya biaya hidup di Singapura.
Total perhitungan pajak menurut tarif di Indonesia adalah sebesar Rp 33,630,000 atau sebesar kurang lebih 12% dari total pendapatan Badu.
Dari perhitungan di atas terlihat perbedaan yang kontras atas nasib Badu bergantung pada status "Wajib Pajak"-nya. Jika Badu digolongkan sebagai Subyek Pajak Luar Negeri maka Badu hanya wajib membayar pajak di Singapura sebesar 2%, sehingga Badu masih bisa menyisihkan pendapatannya sebagai tabungan hari tua sebesar 10%-2% = 8%.
Sebaliknya, jika Badu digolongkan sebagai Subyek Pajak Dalam Negeri maka total pajak yang harus dibayarkan Badu adalah 12%, sehingga tabungan yang bisa disisihkan Badu menjadi minus 2% (10% - 12 %) alias nombok 2%.
Malang sekali nasib Badu apabila dia digolongkan sebagai SPDN sudah jatuh ketimpa tangga. Setelah berjuang sendiri mencari pekerjaan ke luar negeri --tanpa merengek-rengek pada pemerintah Indonesia yang tidak bisa menyediakan lapangan pekerjaan baginya, Badu malah dibebani beban pajak yang begitu tingginya oleh pemerintah negaranya sendiri.
Pertanyaan yang mungkin muncul di benak adalah mengapa Badu yang sudah 3 tahun bekerja di luar negeri bisa digolongkan sebagai Subyek Pajak Dalam Negeri dan harus membayar pajak ke Ditjen Pajak Indonesia atas pendapatannya yang sama sekali tidak didapatkannya di Indonesia.
Jawabannya adalah karena hal itu sejalan dengan peraturan pajak penghasilan yang baru: Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Dalam undang-undang ini (Pasal 2 ayat 3 a), Subyek pajak dalam negeri termasuk di antaranya adalah orang pribadi yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Pernyataan "mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia" bagaikan pasal karet yang bisa ditafsirkan bermacam-macam. Ada yang mentafsirkan? selama WNI yang bekerja di luar negeri tersebut masih memegang kewarganegaraan Indonesianya maka sudah dapat dikatakan WNI tersebut mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia, dan oleh karenanya digolongkan sebagai Subyek Pajak Dalam Negeri. Dan menurut peraturan perundangan yang sama, sebagai Subyek Pajak Dalam Negeri, yang bersangkutan wajib melaporkan pendapatannya baik di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti tertulis dalam penjelasan Pasal 2 ayat 2.
Dengan peraturan seperti ini tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di sektor non formal pun (pembantu rumah tangga) yang di Singapura berpenghasilan sekitar SGD 300 - 500/ bulan, dapat digolongkan sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri dan juga harus membayar pajak di Indonesia, karena pendapatan sebesar SGD 300 - 500/ bulan tersebut bila dikonversi ke nilai Rupiah, akan melebihi batas Pendapatan Tak Kena Pajak (padahal di Singapura sendiri --tempat mereka mendapatkan penghasilan, mereka tidak perlu membayar pajak). Peraturan Undang-undang seperti yang tertulis di atas inilah yang membuat ribuan bahkan mungkin jutaan WNI yang bekerja di luar negeri seperti Badu menjadi resah.
Mari kita bayangkan. Apa yang terjadi seandainya pemerintah menggunakan pasal 2 ayat 3 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Pasal 2 ayat 3 a) untuk memaksakan WNI yang bekerja di luar negeri untuk digolongkan sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri, karena mereka masih memegang paspor Indonesia dan karenanya dianggap punya "niat" untuk bertempat tinggal di Indoneisa.
Yang mungkin terjadi adalah:
1. Pelarian asset / modal ke luar negeri. TKI seperti Badu, yang tidak akan mampu membayar pajak yang tinggi seperti di atas, akan berpikir untuk segera melarikan asset-nya ke luar negeri dengan menjual rumahnya di Indonesia dan mentransfer seluruh uangnya ke luar negeri. Karena Badu khawatir asset yang telah dikumpulkan sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun akan disita petugas Pajak karena tunggakan pajak yang tidak mampu dibayarnya.
2. Berkurangnya pemasukan Devisa. TKI seperti Badu, yang khawatir dikejar-kejar petugas pajak atas ketidakmampuan nya membayar pajak di Indonesia, akan memutuskan membawa serta anak istrinya ke luar negeri dan sedapat mungkin tidak kembali ke Indonesia kalau memang tidak mendesak. Dengan demikian, Badu tidak akan lagi mengirimkan sebagai pendapatannya ke Indonesia karena keluarganya sudah ikut pindah semua ke Luar Negeri.
3. Menambah pengangguran di Indonesia. Dengan peraturan perpajakan yang memberatkan WNI di luar negeri seperti cerita Badu di atas. Para pengangguran di Indonesia akan menjadi "enggan" untuk mengadu nasib ke luar negeri. Mereka akan berpikir lima kali untuk merantau mencari pekerjaan ke luar negeri. Dan, hasilnya adalah pengangguran di Indonesia semakin meningkat.
4. Dalam jangka panjang bisa memicu terjadinya "brain drain" secara permanen.
Bukan tidak mungkin tenaga-tenaga terdidik di luar negeri yang selama ini berniat untuk kembali ke tanah air setelah bekerja beberapa tahun di luar negeri akhirnya harus melepas kewarganegaraan Indonesianya karena ketidaksanggupan membayar Pajak yang begitu tinggi ke Indonesia (yang disebabkan oleh tidak diperhitungkan tingkat "biaya hidup" di mana tenaga terdidik itu harus bekerja dalam perhitungan pajaknya).
Akhirnya, yang terjadi adalah "lose-lose" situation. Tidak ada yang diuntungkan dari situasi di atas. Dengan demikian dalam surat terbuka ini kami WNI yang bekerja di luar negeri memohon:
1. Kepada Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan Indonesia, untuk memperhatikan beberapa point sebagai berikut:
* Seperti kata pepatah/ ungkapan/ motto/ harapan WNI pada petugas pajak (yang baru diciptakan dalam tulisan ini): "Orang Pajak Harus Bijak", maka kami, WNI yang bekerja di luar negeri berharap Ditjen Pajak lebih bijaksana dalam menerapkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 ini kepada WNI yang bekerja di luar negeri. Dimohon sekiranya Ditjen Pajak tidak memaksakan untuk menggolongkan kami TKI yang sudah bertahun-tahun bekerja luar negeri sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri dan dituntut membayar pajak yang tinggi di Indoneisa (dengan tidak memperhitungkan tingginya biaya hidup di negara tempat kami bekerja).
* Kami WNI yang bekerja di luar negeri sama sekali tidak bermaksud untuk tidak berkontribusi terhadap negara. Kalaupun sumbangan triliunan rupiah yang kami kirimkan ke Indonesia setiap tahunnya dirasakan tidak cukup oleh pemerintah Indonesia, dan dikarenakannya kami harus membayar pajak tambahan, kami harap pajak tambahan tersebut tersebut tidak mencekik leher kami. Jangan sampai cerita yang dialami tokoh imajiner seperti Badu di atas benar-benar terjadi pada kami. Bayangkan kalau pemerintah asing yang menyediakan lapangan kerja buat WNI seperti Badu saja hanya meminta pajak 2% dari Badu, masak pemerintah Negaranya Badu sendiri yang tidak mampu memberikan pekerjaan padanya meminta pajak 12% atau 6 kali lipatnya. Apa kata dunia.
2. Kepada calon anggota legislatif dari partai politik peserta Pemilu 2009 "Surat Terbuka" ini juga kami tujukan kepada calon legislatif dari partai politik peserta Pemilu 2009 untuk memperhatikan beberapa point berikut:
* Partai politik diharapkan dapat secara serius merumuskan kebijakan-kebijakan yang memberi perlindungan hukum bagi kami WNI yang bekerja di luar negeri. Jadikan amandemen Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh sebagai salah satu agenda utama kebijakan partai anda untuk memberikan perlindungan bagi kami WNI yang bekerja di luar negeri --yang telah menyumbang triliunan devisa setiap tahunnya, agar terbebas dari kemungkinan dibebani pajak yang berlebihan. Memang, sejauh ini dalam berbagai kesempatan, pihak Direktorat Pajak menjelaskan bahwa TKI yang bekerja di luar negeri lebih dari 180 hari tidak akan dikenakan Pph. Namun demikian pernyataan ini dinilai hanyalah merupakam perwujudan sebuah "good will" atau niat baik dari pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang sementara ini tidak ingin menggunakan pasal 2 ayat 3 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 untuk memaksakan WNI yang bekerja di luar negeri untuk digolongkan sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri. Sekedar "good will" atau niat baik tidaklah cukup untuk melindungi kepentingan WNI yang bekerja di luar negeri. Yang dibutuhkan WNI yang bekerja di luar negeri adalah peraturan perundang-undangan yang memberikan payung hukum yang jelas sedemikian rupa sehingga WNI yang bekerja di luar negeri tetap dapat berkontribusi aktif terhadap pembangunan di Indonesia tanpa harus dibebani pajak yang berlebihan.
* Menurut data ILO (seperti dikutip di situs Migrant Care) pada tahun 2007 diperkirakan ada 4,3 juta WNI yang bekerja di luar negeri. Angka ini terus meningkat. Cukup konservatif kalau kita perkirakan di tahun 2008 ini setidaknya ada 5 juta TKI yang bekerja di luar negeri. Jika setiap TKI memberikan manfaat ekonomi secara langsung kepada 5 orang anggota keluarganya maka kepentingan ke-5 juta orang TKI tersebut juga berkaitan erat dengan kepentingan 25 juta WNI lainnya. Dengan demikian, jika partai anda mengagendakan dan mengkampanyekan kebijakan yang memberikan perhatian khusus pada mereka maka partai anda berpeluang untuk sedikitnya menjaring 30 juta suara pemilu.
* Mengapa surat ini ditujukan pada caleg partai politik peserta Pemilu 2009 dan bukannya pada anggota DPR saat ini? Jawabannya adalah karena kami menginginkan perubahan. Kami ingin agar anggota parlemen periode selanjutnya, juga menghasilkan produk hukum yang memperhatikan kesejahteraan dan kepentingan kami WNI yang bekerja di luar negeri dan tidak hanya tertarik untuk menarik pajak semaksimal mungkin dari kami.
Demikian surat terbuka ini disampaikan kepada pihak-pihak pengambil keputusan di bidang perpajakan di Indonesia untuk menjadi perhatian. Terima kasih.
Joko Susanto
Satu dari jutaan WNI yang bekerja di luar negeri.
Bukit Batok Street 21, #07-95 Singapura
*****@****.***
+6597812354
Catatan:
Tabel perhitungan pajak ada di redaksi.
(msh/msh)