Makassar - Adik saya mengalami kasus KDRT dan perzinahan yang dilakukan oleh suaminya yang anggota polisi di Jayapura. Tapi laporannya ke Polres Jayapura tidak ditanggapi serius bahkan dipersulit karena yang dilaporkan adalah anggota polisi.
Adik saya menikah dengan seorang anggota polisi berpangkat Bripka, selama sekitar 10 tahun dan dikarunia 2 anak. Selama pernikahan, beliau sering disiksa secara fisik dan psikis (dihina, diancam) sehingga takut menceritakan kejadian ini pada saudara-saudaranya juga malu karena pernikahan mereka dulunya tidak direstui bapaknya.
Pada 27 Juni 2011, tanpa sengaja adik saya mendapati HP baru dalam kantong celana suaminya yang tergantung dikamar. Ternyata dalam HP itu penuh dengan sms-sms mesra dan porno dengan banyak perempuan. Selain itu juga terdapat foto-foto telanjang dan video-video telanjang suaminya dengan perempuan lain.
Pada saat akan melaporkan itu, sang suami berusaha merebut HP tersebut tapi tidak berhasil. Untunglah ada polisi lain yang membawa mereka ke Polres. Di Polres, suami adik saya terus saja berusaha merebut HP itu dan terus mengeluarkan hinaan dan sumpah serapah, seperti "perempuan bodoh, buta huruf", dan sebagainya.
Adik saya melaporkan suaminya ke kepolisian, keberanian menuntut suaminya muncul setelah melihat foto-foto dan vidoe suaminya dengan perempuan lain. Semalaman bersama dua anaknya di kantor polisi, keesokan harinya baru laporan dibuat. Tapi yang dibuat hanya laporan tentang perzinahan, bukan KDRT.
Karena hari Rabu 29 Juni 2011 libur, maka keesokan harinya adik saya kembali ke Polres untuk melaporkan KDRT juga dan menuntut suaminya untuk dihukum seberat-beratnya sampai dipecat dari kepolisian.
Sayangnya, di Polres, adik saya seperti dipermainkan kiri kanan oleh beberapa polisi, laporannya tidak dibuat padahal sudah divisum (hasil visum tidak diberikan padanya). Bukti HP yang berisi sms, foto dan video disimpan polisi untuk bukti katanya. Tapi bagian pembuatan pengaduan tidak mau membuat laporan pengaduan KDRT dengan berbagai aasan, alasannya bukti kurang, kekerasan psikis bukan termasuk KDRT.
Mereka meminta adik saya untuk bertemu Kapolres dulu (karena suaminya seorang polisi) untuk menceritakan masalahnya, baru Kapolres yang akan menentukan apakah kasus bisa dilanjutkan atau tidak.
Tanggal 2 Juli 2011, adik saya sudah didampingi pegacara, bahkan pengacara pun dibentak-bentak dan diusir di kantor polisi. Akhirnya adik saya dan pengacaranya pergi melapor ke Polda Papua. Di Polda Papua, mereka disambut baik oleh petugas dan akan menindak lanjuti laporan, hanya tidak bisa divisum karena sudah pernah divisum sebelumnya.
Saya mohon penjelasan bapak dan ibu sekalian yang mengerti hukum:
- Menurut polisi, suaminya yang anggota polisi tidak bisa dituntut pasal perzinahan karena tidak tertangkap basah. Jadi bukti sms, foto dan video tidak ada gunanya? Kenapa suaminya tidak bisa dipecat karena hal itu?
- KDRT hanya kalau luka parah, apakah siksaan batin yang membuat hilang rasa percaya diri, takut melapor kalau dipukul, itu tidak termasuk KDRT? Apakah hinaan, makian yang selalu diucapkan (seperti perempuan bodoh, tidak ada guna, saya akan injak-injak kau) bukan termasuk KDRT?
- Apakah bekas cakaran, tendangan di kaki bukan bukti KDRT?
- Apakah anggota polisi tidak tersentuh hukum? Kenapa laporan ke Polres Jayapura dipersulit?
Saya yang menulis ini adalah kakak korban dan bertempat tinggal di Makassar. Terima kasih untuk dimuatnya surat ini.
IriantiTaman Sudiang Indah E1/No. 5 Makassar*****@****.***081342397879(wwn/wwn)