Kejadian berawal pada tahun 1996, ketika orang tua saya dipindahkan dari perwakilan BPKP Bengkulu ke BPKP Pusat Jakarta. Kami menempati rumah dinas BPKP nomor 17 Kunciran sejak bulan Juli 1996, berdasarkan Surat Keputusan Penghunian Rumah Dinas (SIP) Nomor S.104/DI.4/ 1996 tanggal 6 Juni 1996. Namun, pada saat itu kami tidak bisa langsung menempati, karena rumah dinas nomor 17 tersebut tidak ada pintu, jendela, atap, listrik, maupun air sehingga tidak bisa di huni. Yang masih ada tinggal dinding rumah induk berukuran 9 kali 6 m² dan sudah penuh lumut, lantai, halaman depan dan belakang penuh semak belukar.
Maklum karena sudah lima tahun sejak dibangun tahun 1990-1991 rumah tersebut dibiarkan kosong dan tidak diperbaiki atau dibangun kembali oleh BPKP, karena tidak ada dana perbaikan untuk rumah dinas. Kondisi fisik rumah dinas tersebut kami laporkan kepada Bapak Deputi Administrasi (saat itu Bapak Sujana). Kami diijinkan untuk membangun kembali. Beliau mengatakan, "Kalau mau menempati ya bangun saja kembali, toh kalau pensiun bisa dibeli". Setelah kami bangun kembali, kami dapat menghuni rumah dinas nomor 17 tersebut yang saat itu sebenarnya Nilai Asset Bangunan sudah 0 persen.
Oleh karena itu, kami sekeluarga mau tidak mau harus membangun kembali rumah tersebut dengan biaya pribadi/sendiri agar bisa menempati rumah dinas no.17 tersebut. Kondisi tersebut memang benar adanya dan banyak saksi-saksi hidup yang mengetahui akan kebenaran tersebut. Menjelang ayah saya pensiun di tahun 2000 dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Sub Bagian Persuratan BPKP Pusat, kami mengajukan pembelian rumah dinas secara kolektif, rekan-rekan kami yang menempati rumah dinas BPKP Departemen Keuangan di Karang Tengah Ciledug, di Rawasari dan di Situ Gintung Ciputat dapat membeli rumah dinas yang mereka tempati tetapi malah pengajuan ayah saya ditahan (tidak diajukan oleh BPKP). Padahal pada saat itu sudah memenuhi syarat untuk dapat membeli rumah dinas sesuai PP nomor 40 yang berlaku saat itu, karena terhalang oleh adanya kebijakan Kepala BPKP (saat itu Bapak Ari Sulendro) yang menyatakan bahwa, "selama saya menjabat kepala BPKP tidak akan melakukan penjualan rumah dinas".
Menurut pendapat kami kebijakan tersebut telah bertentangan dengan Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 1994 (peraturan yang lebih tinggi saat itu). BPKP menetapkan kebijakan tidak melakukan penjualan rumah negara sejak tahun 2000 sesuai kondisi keuangan negara tidak memungkinkan untuk membangun rumah negara adalah tidak benar, karena ternyata pada tahun berikutnya BPKP melakukan pembelian tanah kosong seluas 500m² di depan rumah dinas nomor 17 Kunciran yang kami tempati dari saudara Sri Mandowo dan sekaligus membangun dua buah rumah dinas serta membiarkan tanah sisa dibelakangnya yang sampai saat ini tidak bisa di bangun karena tidak ada akses jalan. Di samping itu, BPKP juga melakukan pembebasan tanah untuk pembuatan jalan masuk komplek BPKP Kunciran.
Pada bulan Oktober-November 2008, BPKP juga telah membongkar total dan membangun kembali ditambah pemasangan instalasi listrik tujuh buah rumah dinas yang kosong di Komplek BPKP Kunciran. Perlahan tapi pasti, surat izin penghunian rumah negara dicabut sepihak oleh BPKP tanpa merasa bersalah mengenai kebijakannya di tahun 2000 yang melanggar PP yang lebih tinggi. Dan hingga pada saat kami mulai mengurus kembali kepada lembaga-lembaga terkait mengenai ini, BPKP malah terkesan terburu-buru ingin mengosongkan rumah kami. Padahal, ayah saya saja mendapat tembusan surat untuk BPKP dari Menteri Keuangan yang menyatakan bahwa rumah tersebut bisa dibeli dan menyarankan agar pejabat eselon I dan II untuk mengajukannya.
Tapi, mereka malah tidak mengindahkan surat tersebut, hingga akhirnya pada 6 Mei 2009, saya mendapat telepon dari ayah yang mengatakan bahwa team dari BPKP atas persetujuan dari Kepala Biro Umum BPKP IGB Suryanegara, datang puluhan orang yang terdiri dari Internal BPKP (seluruh staf biro umum), polisi untuk pengamanan dan ketua RT sebagai saksi hendak mengosongkan rumah kami tanpa ganti rugi. Saya buru-buru datang tapi terlambat. Saya melihat seluruh isi rumah orangtua saya sudah diletakkan di tengah lapangan. Para pejabat BPKP tersebut yang bernama Harsono dan Masa Siahaan berniat meletakkan saja barang-barang tersebut di tengah lapangan! Untung ada pak RT yang menengahi dengan mengatakan bahwa kasihan jika harta benda yang sudah dikumpulkan berpuluh-puluh tahun hancur begitu saja terkena hujan. Beliau mengatakan bahwa lebih baik sementara ayah saya disewakan saja untuk meletakkan barang. Namun pejabat-pejabat tersebut tetap bersikukuh, akhirnya pak RT mengatakan, "Apa saya kumpulkan saja uang dari warga saya untuk mengontrakkan ayah saya, apa tidak malu BPKP?".
Mungkin karena malu, mereka akhirnya setuju membayar sewa gudang untuk satu bulan saja dengan biaya hanya Rp1 juta. Itu pun mereka berkata, "Apa tidak ada yang hanya Rp 600,000,- per bulan?" Pak RT pun menimpali, "Dekat rumah saya saja yang ukuran 3 kali 6 saja sudah Rp 400,000- per bulan!". Kini kedua saya tinggal di penampungan sementara, sedih rasanya melihat mereka seperti ini di hari tua. Pemerintah saja menggalakkan program pengentasan kemiskinan, ini malah BPKP menciptakan kemiskinan. Apa begini sikap dari lembaga/pejabat publik menyelesaikan masalah?? Apa BPKP sudah terlalu pintar hingga bisa melanggar PP pada saat itu?? Apa tidak ada sanksi yang diberikan terhadap BPKP hingga bisa berlaku seperti itu?? Kemana perginya keadilan negeri ini?.
Abi Warnadi Ismentin
Jl.Raden Fatah,GG.Larisma No.33D Rt.03/03, Ciledug
Tangerang
Baca Juga
SuratPembaca
Cari keluhan surat terbuka resmi dan curhat terbaru sebagai sarana komunikasi dari seluruh konsumen untuk produk terkenal di Indonesia.
Hubungi Kami
Silahkan hubungi kami jika ada pertanyaan dan menjadi partner
Jakarta, Indonesia
Jika ada yang merasa tidak sesuai / sebaiknya dihapus, tolong sertakan link yang anda maksud pada halaman ini dan memastikan sumber dari surat pembaca sudah ditutup / masalah terselesaikan / dihapus.
Akan diproses 1 s/d 7 hari.
Kirimkan Masukan
[email protected]
Senin - Jumat
09:00 - 17:00
Sosial