Aku hobi nulis cerpen tapi masih bingung mau dikirim ke mana. Ini contoh cerpenku. Cerpen-cerpenku yang lain modelnya hampir kaya gini.
Arman menikmati isapan terakhir kreteknya sebelum kembali naik bus. Ia tak begitu menikmati rokok ketika berada di tempat sempit, seperti bus ekonomi itu. Rintik gerimis turun. Tak lama kemudian, debu-debu hilang dan jalanan Terminal Bawen menggelap. Perlahan, bus itu bergerak.
Seiring itu, beberapa musisi jalanan berebut masuk bus. Salah satu dari mereka memenangkan kompetisi itu. Arman menoleh, dilihatnya dua pemuda, yang satu berambut gondrong berombak sebahu, membawa gitar yang dimodifikasi dengan harmonika. Yang satunya agak lebih gemuk, berambut cepak dan ada tato pudar di lengan kirinya yang coklat kehitaman. Di tangannya tergenggam sebuah tambourine sederhana terbuat dari kayu, paku, dan beberapa tutup seng botol bekas. Tak lama kemudian, lagu Jogjakarta memenuhi udara lembab bus. Bus itu melaju semakin jauh ke selatan.
“Musisi jalanan mulai beraksi….”
“Seiring laraku kehilanganmu,” kedua pengamen itu bernyanyi bersahutan. Setelah itu selesai, mereka melantunkan Kupu-kupu Kertas-nya Ebiet G. Ade. Rupa-rupanya, itu aksi penutup mereka. Seperti kebanyakan pengamen, setelah mengucapkan terima kasih dan ucapan “Semoga selamat sampai tujuan,” salah satunya berkeliling dari satu bangku ke bangku lain meminta imbalan. Arman tak punya uang receh, jadi ia masukkan saja dua rokok kretek ke dalam kantong plastik pengamen itu. Rupanya, yang bertato itulah yang bertugas meminta imbalan.
Beberapa saat kemudian, bus berhenti di depan sebuah halte. Seorang pedagang asongan masuk lalu menawarkan paket alat tulis.
“Cukup sepuluh ribu, dapat dua pensil, dua pulpen, penggaris, dan penghapus.”
Kemudian pedagang itu membagi-bagikan paket itu ke seluruh penumpang. Herman teringat cucu semata wayangnya Dharma yang sudah mulai masuk kelas 3 SD. Ia pun membeli satu paket alat tulis itu. Ia sering memberikan oleh-oleh untuknya. Dari mulai buku mewarnai, panduan salat, buku pengetahuan umum, stiker, dan beberapa benda lagi yang entah sekarang di mana. Ia maklum, Dharma sekarang bertumbuh. Dulu waktu bayi, seperti umumnya kakek, ia sering menggendongnya dan mengajak jalan-jalan di alun-alun untuk sekedar membeli balon dan melihat kendaraan lalu-lalang. Apalagi semenjak ayah Dharma merantau ke Afrika dan tak pernah kembali.
Gerimis tadi lambat laun menjadi hujan. Airnya membentuk tirai seperti kelokan sungai-sungai kecil. Arman merasakan sesuatu yang dingin mengaliri kulit kepalanya. Ia mendongak. Langit-langit di atasnya bocor. Ia pun menutupi kepala dengan jaket. Orang yang duduk di sebelahnya tertidur, kepalanya nyaris menyentuh pundak Arman. Ia seorang lelaki paruh baya, mungkin seusia anaknya. Arman bergeser mepet ke jendela. Pipinya menempel. Seperti dikompres, pikirnya.
Di sekitar Parakan, bus kembali berhenti. Seorang pedagang asongan lain menaiki bus. Tampak sesuatu terbungkus plastik transparan menyelubungi bawaannya. Pedagang itu membuka plastik itu, kemudian melipatnya dengan hati-hati. Diselipkannya penutup yang agak basah itu di sela ikat pinggangnya. Tampak benda-benda kecil berjuntai di tempat dagangan asongan itu. Arman menyipitkan mata. Kemudian melihat sekumpulan gantungan kunci boneka mungil. Saat pedagang itu mendekat, ia mengacungkan tangan. Pria di sebelahnya terbangun, lalu duduk tegak. Arman kemudian membeli gantungan kunci boneka macan kecil dan laba-laba karet.
Tubuhnya mengigil kala bus itu merayapi jalan antara Gunung Sumbing dan Sindoro. Kabut sangat pekat, hingga ia menyangka hari telah senja. Deretan rumah berjajar dan mematung. Ia teringat sebuah kota tua tak berpenghuni ketika ia bertugas di Timor Leste. Sayang sekali, kota itu tak punya kabut sesejuk ini. Bus itu berjalan perlahan. Dalam hati, Arman ingin menggantikan sopir itu mengendarai kendaraan ini lalu melaju sekencangnya. Namun ia hanya menghela napas.
“Mbah!” teriak Dharma suatu hari. Arman yang sedang menyapu halaman menghentikan kegiatannya.
Kaki-kaki kecil dan montok Dharma berlari ke arahnya. Dharma memeluknya.
“Ada apa le?”
Dharma tak menjawab. Ia hanya terisak. Matanya merah dan sembab. Beberapa saat kemudian, ibunya muncul dari pintu.
“Eh, Dharma. Ngapain kamu disitu? Ayo masuk!”
Dharma menggeleng, malah semakin erat memeluk Arman.
“Ada apa, Ti?” Arman bertanya kepada anaknya.
“Sudah waktunya Dharma minum obat, Pak.”
“Emoh!” sahut Dharma cepat.
Arman menyandarkan sapu lidi di pohon mangga. Ia berjongkok, menatap Dharma.
“Kenapa emoh?”
Dharma memonyongkan bibir.
“Bosen. Pait!”
“Nggak boleh gitu. Kamu mau ke Dieng nggak?”
“Mau,”
“Tapi kamu harus sembuh dulu, biar bisa jalan-jalan di sana.”
“Sama metik stroberi?”
“Iya.”
Dharma mengusap air mata, berbalik ke arah ibunya yang tampak tersenyum.
Sang sopir mendadak menginjak rem, membuyarkan lamunan Arman. Ia kembali melihat ke balik jendela. Hmm, Dieng. Akhir pekan ini akan terasa sempurna jika ia bisa memenuhi janjinya. Kelokan-kelokan kecil di jendela mulai menghilang, berganti pola polkadot tak beraturan. Terminal hanya tinggal di depan mata. Arman menyandang tasnya lalu berdiri dan bersiap turun.
Begitu kakinya menginjak pelataran terminal, Arman merinding. Tak biasanya ia begitu kedinginan. Ia pun berjalan mencari bus tuyul yang menuju ke desanya. Tak lama kemudian, ia menemukannya. Bus itu masih lengang. Hanya ada empat orang termasuk dirinya. Tempat sopir pun kosong. Ia memilih tempat duduk tunggal tepat di dekat pintu masuk. Ia merogoh sakunya, mencari kretek. Baru kemudian ia teringat telah memberikan persediaan terakhirnya kepada kedua pengamen tadi. Beruntunglah, ia menemukan sebungkus permen jahe. Seorang anak laki-laki masuk ke bus bersama seorang wanita yang membawa sekeranjang belanjaan. Arman mengira itu Dharma. Ia mencekal lengan anak itu. Si anak menatapnya heran. Arman melepaskan pegangannya. Kira-kira tiga puluh menit kemudian bus tuyul itu jalan.
Arman lega, akhirnya ia tiba di depan gapura desanya. Ia berjalan di jalanan berbatu yang hanya diaspal sebagian. Kali ini keadaan agak sepi, hanya ada beberapa pemuda berkumpul di depan sebuah rumah, sibuk dengan sesuatu. Sepertinya mereka sedang membetulkan sepeda motor cross. Salah satu dari mereka menyapa Arman. Ia membalasnya sengan anggukan, senyum, dan beberapa patah kata basa-basi.
Di ujung jalan yang bercabang, ia berbelok ke kiri. Ia mempercepat langkahnya. Tak lama, ia pun melihat pagar teh-tehan terselubung tali putri di sisi kanan jalan. Senyum tipis terkembang di bibirnya. Sesampainya di pagar itu, dilihatnya halaman rumah penuh dengan dedaunan kering yang mulai membusuk karena hujan. Ubin terasnya pun kotor oleh tanah dan debu, juga kotoran unggas. Ia mengetuk pintu dan mengucap salam. Tak ada jawaban. Ia mencari kunci di kantung depan tasnya. Setelah menemukannya, ia memasukkan kunci itu ke lubangnya, memutar, terdengar bunyi klik. Ia berhasil membuka pintu.
“Assalamualaikum!”
Hening.
Arman bergegas menuju kamar Dharma. Ia membuka pintu kamar itu. Secercah cahaya menyusup dari ventilasi si atas jendela kayu yang tertutup. Tak ada siapa-siapa di kamar itu. Arman membuka lemari kayu di sebelah tempat tidur. Pakaian-pakaian Dharma hanya tersisa beberapa. Di bagian paling bawah lemari, ada beberapa benda oleh-oleh darinya. Buku di tumpukan paling atas bergambar tokoh kartun Diego dan sahabatnya, bayi jaguar. Di sebelah tumpukan itu, ada kotak kardus bekas yang dibiarkan terbuka. Ia mengeluarkan kotak itu. Truk tronton plastik, ular-ularan, gasing kayu dan tali. Arman mengeluarkan paket alat tulis dan dua gantungan kunci dari tasnya, lalu meletakkan benda-benda itu ke dalam kardus. Arman duduk di pinggiran tempat tidur.
Saat itu hujan deras. Badan Dharma diselimuti beberapa kain sarung. Dalam perjalanan ke rumah sakit, mobil milik tetangga yang mereka tumpangi mengalami bocor ban. Jalan begitu lengang. Sekitar satu jam menunggu, akhirnya masalah ban itu beres. Ketika tiba di depan rumah sakit, Dharma tak mau bangun, dan tak pernah bangun. Beberapa minggu kemudian, ibunya menyusul.
Arman mengangkat wajahnya. Ia segera memasukkan kembali kotak kardus dan isinya ke dalam lemari. Sebaiknya aku menyapu halaman, pikirnya.
“Bersih-bersih, pak dhe?” Tanya kemenakannya dari balai-balai rumah sebelah.
“Iya. Soalnya besok aku, Dharma, dan Tati mau ke Dieng.”
***
Ini serius lho, gan. Lebih bagus lagi kalo agan sharing alamat redaksinya. Makasih!!