Surat Pembaca Indonesia

Perlakuan Terhadap Ibu Hamil

Transportasi & Fasilitas Umum

Pada tanggal 6 September 2012 dan 30 September 2012, kami (suami-istri yang sedang hamil 5 bulan) melakukan perjalanan pergi-pulang ke kampung halaman istri di Manado dari Jakarta. Karena istri hamil, kami memutuskan naik maskapai yang menurut kami sebelumnya terbaik, Garuda Indonesia. Sebelum berangkat, kami rutin check up kehamilan ke dokter spesialis. Dari dokter diberi saran, aman untuk melakukan perjalanan udara pada usia kandungan 5bulan s/d 7 bulan. Pun sekedar jaga-jaga, kami minta surat keterangan dari dokter spesialis tersebut. Tiba saatnya bagi kami untuk berangkat. Setelah melalui seluruh prosedur perjalanan sesuai dengan yang tercantum di papan pengumuman, kami sangat prihatin dan marah melihat perlakuan maskapai ‘kebanggaan nasional’ dan pihak pengelola bandara (Angkasa Pura) terhadap ibu hamil. Keadaan seorang ibu yang seharusnya dijaga, dalam hal ini malah dijadikan modus ‘pemerasan’ oleh sistem atau oknum dengan berbagai dalih.Kami sebagai konsumen mempertanyakan Standard Operation Prosedure (SOP) bagi ibu hamil seperti apa. Mustahil bagi kami-konsumen, kemana-mana selalu membawa materai. Logika bagi kami, kami ‘dipaksa’ melepas sebagian hak kami tetapi dipaksa membayar materai pula untuk buat surat pernyataan. Yang lebih parah lagi, ketika kami check in dan melapor, tidak ada upaya dari petugas untuk menempatkan ibu hamil di bagian lorong (istri ditempatkan di 25B dan saya di 28B). Kalau terjadi apa-apa misalnya, bagaimana logikanya tindakan emergency bisa dilakukan kalo ibu hamil ditempatkan di bagian B? Itupun saya berdebat dengan petugas setelah ‘memaksa’ membeli materai dari petugas seharga Rp. 10.000,- Pun tempat duduk tetap tidak bisa diupayakan. Tapi bagi orang Indonesia, kami pun bersabar-mungkin karena ‘keadaan’- siapa tahu pada saat pulang tidak terulang. Tapi alangkah kaget, marah, prihatin dan jengkel setelah saat kami pulang tanggal 30 September 2012 dengan flight no. GA607 kemarin.Kejadian seperti itu terulang lagi. Bahkan lebih parah lagi, selain harus membayar materai Rp. 10.000,-, kami ‘dipaksa’ untuk memeriksa keadaan istri di bagian Karantina Kesehatan. Dengan alasan yang sama, ‘tidak ada kembalian’, kami ‘dipaksa’ harus rela membayar biaya administrasi kesehatan Rp. 50.000,- dari yang ‘seharusnya’ Rp. 25.000,-. Yang membuat saya prihatin adalah : kenapa di bangsa kita kondisi ibu hamil malah seolah-olah menjadi modus untuk pemerasan terselubung?’ Suatu kondisi manusia yang alami, yang seharusnya dilindungi, malah dijadikan bahan obyek pemerasan.Kepada seluruh pihak terkait, marilah belajar memperbaiki sistem kita apabila memang sistem kita itu salah. Kepada Bapak Menteri BUMN, management Garuda Indonesia, management Angkasa Pura, semoga hal ini bisa menjadi perhatian. Kami sebagai konsumen sangat dirugikan baik dari sisi materiil dan immateriil dengan kejadian-kejadian seperti ini. Kemanakah biaya Pungutan Jasa Penumpang Pesawat Udara yang telah kami bayarkan?Untuk setiap ‘kejadian’ kami masih harus membayar lagi. Misalpun kami tidak diperlakukan demikian, kami sebagai konsumen sadar dan tahu akan hak dan kewajiban kami sebagai konsumen. Jadi tidak perlu hal-hal yang tidak perlu diadakan sekedar untuk mencari penghasilan tambahan. Kami pun, dengan kondisi istri hamil, telah melengkapi dengan surat keterangan dari dokter spesialis dari rumah sakit ibu-anak terkenal di Jakarta, ditambah lagi (maaf bukan bermaksud sombong) mama mertua kami adalah seorang Prof. Dr. dr. … Sp.A (K) yang masih praktek di rumah sakit negeri dan beberapa RS swasta di Manado, yang tentunya rutin memeriksa kondisi istri (anak beliau sendiri) - yang tentunya lebih berkualitas dari sekedar memeriksa ‘tensi’ di ruang karantina. Fajar Nugroho Adi Perum Pondok Kelapa Blok A No. 2, Pondok Kelapa Jakarta Timur


1279 dilihat