Surat Pembaca Indonesia

Manusia Abadi

Profesional & Layanan Bisnis

Manusia Abadi Ngiuhan, ya, gambaran kehidupan kita di muka bumi ini adalah sekedar ngiuhan (numpang berteduh). Tidaklah kiranya seseorang yang berteduh di bawah pohon lalu ingin tinggal disitu selamanya, karena sungguh kampung halamanlah yang menjadi tujuannya. Banyak ayat Al-Quran dan Hadits yang berbunyi serupa mengenai kehidupan dunia yang sementara. Jika semua kehidupan dunia fana, lantas apa yang mesti depercayai sebagai keabadian?             Keabadian yang selalu dikerucutkan pemaknaannya kepada kehidupan setelah berpisahnya raga dengan jiwa, tujuan sebenarnya dari setelah nafas berhenti dihembuskan. Bukan maksud membantah Al-Quran maupun Hadits, penulis merasa dalil-dalil itu dijadikan alasan bagi kemalasan orang untuk bergerak karena anggapan kehidupan dunia sementara dan berleha-leha dalam setiap tindakan. Tak pernah serius dengan yang diamanahkan, totalitasnya selalu diragukan. Dari kehidupan yang sementara lantas tak meninggalkan kesan apa-apa, Tidak mewariskan suatu hal yang berguna kepada generasi selanjutnya, tak memberikan kebermanfaatan kepada manusia. Patutlah kita menangisi diri sendiri ketika ada kesempatan yang kau berada disana namun tak berbuat apa-apa, sia-sia. Keabadiaan juga bisa berarti kenangan. ibarat bintang jatuh yang hanya beberapa menit lewat, namun momentumnya akan menjadi hal yang slalu dikenang sepanjang hayat. Begitupun seharusnya kita hidup, singkat, sarat akan karya. Melayangnya jiwa dari tubuh kita, maka layangkanlah juga karya-karya. Jika Attila The Hun sempat berkata : dimana kaki saya menginjak rumput pun takkan tumbuh lagi. Penulis berkata sebaliknya : dimana kaki kita memijak, tanah gersang kan rindang, berbunga dan berbuah lebat karenanya. Dorongan gerakan atas dasar dari rasa cinta dan kecintaan pada perubahan, niscaya, kemanfaatan akan dirasa oleh manusia dan meninggalkan kesan yang tak mudah hilang. Raga dari Rasululloh SAW memang telah tiada, namun   sampai sekarang bahkan sampai akhir zaman beliau tetap menjadi suri tauladan bagi para pengikut dan pengagumnya. Sebutlah juga Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, Thariq bin ziyad, Shalahuddin Al-ayyubi, Muhammad Al-fatih dan pejuang Islam yang lainnya, namanya tak pernah asing di telinga kita seolah nama orang-orang itu nama dari teman sebaya kita. Adakah raga mereka bersama kita? Tidak. Gagasan, perubahan, dan kebermanfaatan yang ditorehkan dan atas landasan ketaqwaan yang membuat nama-nama itu terus terngiang di telinga kita hingga sekarang. seolah abadi mereka hidup bersama kita. Itulah makna dari menjadi seorang yang abadi di muka bumi. Mengabdi dimuka bumi illahi tuk kehidupan abadi yang diridhai. Berkarya menghadirkan perubahan pada tatanan kehidupan, memberi kebermanfaatan bagi keluarga, saudara, dan masyarakat umum yang didasari pada keadilan dari yang maha Adil. Dan yakinlah, jika kita bergerak atas dasar cinta, kecintaan, dan ketaqwaan pada Allah SWT lalu kemudian kita gugur dalam memperjuangkan kalimat-Nya. Gelar syahid pantas disematkan menjadi title kebanggaan. Dan janganlah sekali-kali engkau menyangka orang-orang yang gugur di jalan Alloh, (bahwa mereka itu) mati. Bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS Al-Baqarah : 154) Kita bisa jadi abadi di muka bumi jika sejak sekarang melakukan sesuatu yang mendatangkan kebermanfaatan dan kebaikan bagi sesama manusia secara terus menerus. Dengan demikian kehadiran secara ragawi tidak lagi diperlukan sekedar mengabdikan sosok kita. Semoga kita bisa menjadi lebih kuat dalam meraih sesuatu yang tak lekang oleh waktu di dalam setiap tarikan nafas. Selamat mengabdi, dan mengabadi.              


1036 dilihat