Pengobatan Alternatif H. Wiwin di dekat Taman Bunga Nusantara Berbahaya
11 October 2013
Pertanian, Pertambangan & Konstruksi
Saya wanita berumur 22 tahun, masih kuliah dan belum menikah. Kemarin (10-11-2013) saya ikut keluarga besar saya menuju tempat pengobatan alternatif H. Wiwin yang beralamat di Desa kawung wuluh hilir Kec Sukaresmi, Cianjur, Jawa Barat. Letaknya sangat dekat dengan tempat wisata Taman Bunga Nusantara. Saat sampai disana, bentuk bangunannya berupa rumah berkamar-kamar, berwarna keseluruhan biru, di samping kanannya ada warung kecil yang masih satu pengelola, di pojok kiri ada mushalla. Yg saya tangkap tempat pengobatan ini mengedepankan kesan religius (krn yg punya pun lg pergi haji), jadi pakai doa juga. Quote: Tampak depan bangunan bercat biru itu. Di sana ada calo urutnya, pria yang sepertinya warga sekitar tempat pengobatan itu (karena kami perlu menunggu dia dipanggil dulu), jadi kami yang mau ikut berobat (urut) mendaftar ke dia. Saya sebenarnya hanya mengantarkan saudara yang sakit cukup parah, tapi karena pengobatannya urut saya ikutan bersama bou dan ibu saya. Tempat urut wanita di bagian atas gedung, perlu menaiki tangga kecil dulu di pojok kanan. Di ruangan luar terdapat balkon berpintu besar, sisanya kamar-kamar lain yang sepertinya kamar urut. Awalnya bou saya yang kebagian urut pertama, dibawa ke sebuah ruangan memanjang dengan disekat-sekat gorden, sekitar 4-5 sekatan mirip-mirip ruangan rumah sakit kelas 3, cuma menyisakan sedikit ruang untuk berjalan di luar gorden. Ruangan ini memiliki 2 pintu (ujung kanan kiri) yang anehnya berkaca bening, sehingga orang dari luar bisa melihat ke dalam. Disitu saya mulai khawatir tentang privasi wanita2 yang diurut di ruangan ini, tapi karena setiap kasur memakai sekat gorden lagi saya pikir mungkin masih aman. Saya awalnya memperhatikan bou, hingga akhirnya giliran saya dipanggil untuk urut, selanjutnya ibu saya. Jadi posisi kami berurutan mulai dari pojok kanan, ibu saya, bou, kemudian saya. Wanita yang diurut disuruh berganti baju dengan sarung, sayangnya saya dan keluarga tidak mempersiapkan sarung, sehingga saya dan keluarga dipinjamkan sarung yang sudah lepek kena minyak. Waktu itu saya beranikan pakai karena melihat ibu dan bou saya memakai sarung serupa. Saya melihat kasur urut yang berukuran kecil dan lepek, tanpa ada alas selain sprai yang sejak tadi tidak diganti-ganti. Tapi saya memberanikan diri saja ke kasur itu dan mengikuti yang diperintahkan terapisnya (yang kesemuanya wanita berjilbab). Saat itu gorden saya tidak sepenuhnya tertutup, sekat antara saya dan bou terbuka lebar, tapi saya tidak permasalahkan itu, sementara sekat samping kiri lumayan tertutup , cuma sekat di bagian depan menyisakan sedikit celah. Saya pikir waktu itu terapis yang warawiri di sini akan inisiatif menutupnya, saya merasa aman karena saya pikir ruang urut wanita ini tidak akan dimasuki laki-laki, lagipula banyak terapis wanita yang wara-wiri, membuat saya merasa aman. Sementara terapis memijit saya, dia tidak habis2nya mengobrol dengan teman-temannya dari balik sekat-sekat. Saya juga kesal dengan hal ini. Setahu saya, di salon yang pijatnya sebatas pijat santai saja terapisnya punya etika untuk tidak mengobrol selama memijit klien, sementara ini tempat pengobatan, dimana mungkin saraf2 pasiennya lebih berbahaya jika salah pegang/ urut, mereka malah dengan asyik mengobrol dengan keras meski terhalang gorden. Saya ingat di sebelah kiri saya masih terdapat satu atau dua sekat lagi sebelum mencapai pintu sebelah kiri, sementara di sebelah kanan terdapat dua sekat sebelum mencapai pintu sebelah kanan, jadi saya posisinya di tengah ruangan. Sementara saya diurut, beberapa kali suara pria memanggil-manggil nama terapis dengan kencang dari pintu, dari suara yang saya dengar di balik sekat, pria (yg sepertinya calo urut itu) memanggil terapis yang diminta pasien. Saya menyaksikan sendiri betapa riuhnya ruangan itu, dari suara yang saya dengar pria tersebut dengan berani masuk ke ruangan memanggil terapis, saya sempat khawatir, tapi karena suaranya masih di ujung kiri dan masih ada terapis yang bersama saya (mengurut), saya menenangkan diri. Untungnya suara pria itu cuma sampai di ujung kiri ruangan, setelah itu ia keluar. Nah selanjutnya setelah pengurutan saya selesai, bou di sebelah saya sudah selesai lebih dulu dan mengenakan baju, sementara saya berdiri mengambil baju yang digantung di dinding. Saat itulah ada suara pria yang dengan enaknya masuk ke ruangan memanggil2 lagi nama seorang terapis. "Eneng! Eneng!" Begitu teriakannya. Dan setahu saya Eneng adalah terapis yang sedang menangani ibu saya di pojok kanan ruangan. Dan saya sudah ditinggalkan terapis saya entah kemana, saya cuma sendiri di ruangan dengan sekat tertutup tidak sempurna. Saya segera mengambil celana dan ingin segera memakainya karena takut terlihat dari celah gorden yang sedikit terbuka di bagian depan. Awalnya saya ingin menutupnya tapi tidak berani (takut terlihat tanpa baju). Saat saya sedang memakai celana, pria lumayan tua berjaket dan kupluk hitam terlihat berdiri di luar sekat saya dan memperhatikan saya. Saya syok, apalagi saya belum sempat mengenakan baju dan celana. Dan anehnya bukannya berlalu pria tua berjaket hitam dan kupluk hitam itu malah tetap berdiri di sana memperhatikan saya, padahal posisi sekat saya ada di tengah ruangan, saya tidak menyangka di ruang urut itu pria dibolehkan masuk2 hingga ke tengah ruangan sekalipun. Baru beberapa detik kemudian ada terapis yang menegur pria itu dan menutup celah sekat saya yang awalnya sedikit terbuka. Padahal sebelumnya mereka masih asyik mengobrol dengan suara kencang tanpa peduli sekat gorden saya yang terbuka. Saya baru tahu di tempat pengobatan alternatif ini, para calo urut pria boleh masuk dan berteriak2 sesuka hati di ruang urut wanita hanya untuk memanggil terapis yang diminta. Menurut saya itu saja sudah sangat tidak etis. Lalu saya sempat mengadukan kepada ibu saya, ibu saya lanjut mengadukan kepada penjaga warung (karena warung masih satu kesatuan dengan tempat urut), kebetulan ada seorang wanita terapis juga disana. Ibu saya mengadukan kejadian tidak mengenakkan itu kepada terapis yang entah siapa itu, wanita itu cuma meminta maaf, katanya "Mungkin karena dikiranya kosong jadi nggak sengaja." Jadi seolah-olah saya yang salah disini. Memang harusnya sekat saya ditutup sempurna (padahal saya kira tanpa saya suruh pun para terapis harusnya mengerti prosedur itu). Padahal saya kira tidak ada seorang laki-lakipun yang boleh masuk ke kamar urut wanita, bukannya itu tidak wajar? Dan karena saya cuma mengeluhkan kepada terapis wanita tersebut, saya tidak yakin masalah ini akan ditindak lanjuti, Karena itu saya menulis surat pembaca ini supaya tidak ada lagi korban intipan berikutnya di tempat pengobatan alternatif yang menonjolkan sisi religius itu. Sejauh informasi yang saya dapat, pemiliknya adalah H Wiwin yang memiliki istri Hj Nining, sedang naik haji. Jadi hati-hati jika mendapati tempat pengobatan alternatif ini.
1159 dilihat