Surat Pembaca Indonesia

Dokter Gigi Puskesmas Meruya Utara Bahayakan Pasien

Pendidikan & Pelayanan Kesehatan

Jakarta - Pada hari Rabu, 12 April 2006 saya bermaksud menambalkan gigi depan yang terlepas tambalannya di Puskesmas Meruya Utara, Kembangan, Jakbar. Setelah membayar biaya administrasi saya langsung menuju ruang praktek dan menyerahkan nomor antrean (nomor 3) dan rekam medis. Saat itu dokter tengah mengobati pasien (nomor urut 2) dan saya melihat dokter tsb melakukan pengeboran gigi dengan kondisi penerangan yang minim (lampu sorot yang biasa terletak di bagian atas depan kursi pasien mati, lampu ruangan kurang terang dan tirai jendela tertutup rapat). Awalnya saya sempat ragu untuk meneruskan pengobatan, tapi berhubung lobang gigi saya sudah mengganggu maka saya menghibur diri semoga dokternya profesional dan penglihatannya sangat bagus sehingga berani bekerja dalam penerangan seadanya. Setelah pasien nomor 2 keluar, saya bersiap-siap masuk. Ternyata yang dipanggil adalah pasien lain yang datangnya setelah saya. Saya berpikir mungkin dia pasien nomor 1 yang kelewatan. Tapi saya ingin memastikan dengan melihat kembali nomor antrean, dan ternyata pasien tsb adalah pasien nomor 6. Saya sempat protes dan dokter mengatakan kalau saya terlewat (tanpa minta maaf) dan disuruh menunggu. Setelah giliran saya tiba, saya masuk ruangan dengan hati deg-degan sambil berdoa semoga pengobatan berjalan lancar karena saya melihat wajah dingin Bu Dokter yang judes dan tanpa senyum sama sekali. Kemudian dokter mulai mengebor dan saya mulai mengalami nyeri dan ngilu yang amat sangat. Walaupun saya berulang kali bilang sakit, dokter tetap melakukan pengeboran tanpa ada basa-basinya sama sekali. Setelah saya berkumur saya melihat ternyata gigi saya mengalami pendaharan selain rasa perih dan nyeri yang makin terasa. Melihat kondisi saya tsb dokter lalu mencari-cari sesuatu dalam tasnya. Saya berharap semoga dia sedang mencari obat menawar sakit. Tapi saya jadi terkejut karena yang diambil adalah kacamata. Ternyata dalam penerangan yang minim dan mata yang sudah tidak normal, dokter tsb berani mengobati pasiennya dengan sangat percaya diri. Singkat kata gigi saya kemudian ditambal dengan tambalan yang sangat tidak rapi (gigi yang berlobang tidak tertutup rapat dan gigi yang tidak berlubang malah dilapis tambalan lagi sehingga jadi mengganjal). Sebelum pergi saya sempat bilang kalau gigi saya sekarang malah jadi mengganjal, nyeri dan perih, dengan tenang dokter bilang kalau tadi gusinya kena bor dan nanti akan sembuh sendiri serta tambalannya akan dipoles minggu depan. Karena saya sudah tidak bisa menahan sakit, siang itu juga saya bawa ke RS Tugu Ibu yang sebenarnya sudah tutup, tapi akhirnya dengan memaksa dokter mau menangani. Dari hasil pemeriksaan ternyata syaraf gigi saya kena dan mengalami pendarahan (bleeding) yang kemungkinan besar karena kena bor dan harus dilakukan perawatan hingga 6 kali. Disamping itu dokter juga heran karena dalam kondisi berdarah seperti itu dokter di puskesmas melakukan tambalan ermanen. Sehubungan dengan peristiwa yang saya alami tsb saya mengharapkan Departemen Kesehatan agar menempatkan dokter yang profesional dan ikhlas dalam mengobati pasiennya, serta menyediakan peralatan kerja yang memadai. Memang dengan berobat ke Puskesma kami membayar murah yaitu Rp 27.000 (biaya pendaftaran Rp 2.000 dan biaya tindakan Rp 25.000 sedang di Puskesmas Meruya selatan hanya membayar Rp 10.000) tetapi bukan berarti kami dapat diperlakukan dengan seenaknya. Yang tadinya saya berharap gigi saya sembuh ternyata malah harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar. Jangan sampai pasien-pasien lain yang rata-rata berpenghasilan rendah juga ikut menjadi korban sang dokter Puskesmas Meruya Utara yang tidak profesional dan bertangan dingin. sitirusmiyati@ypmg.org(nrl/)


1326 dilihat