Prahara Palang Pintu Kereta Api di Pasar Minggu
12 December 2016
Pemerintah
Sebagai seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta dan juga sebagai penikmat dari angkutan umum yang tersedia di Jakarta, khususnya Commuter Line, telah menjadi suatu kebiasaan saya setiap berangkat dan pulang kuliah dengan armada itu. Saya berkuliah di universitas yang terletak di daerah Pondok Labu, Jakarta Selatan. Setiap harinya saya berangkat pukul 6 pagi, bertepatan dengan berbagai manusia memulai hari untuk meraup rezeki di Jakarta ini. Dan pulang pukul 6 malam, biasanya. Saya naik Commuter Line dari Stasiun Buaran sampai Stasiun Pasar Minggu. Perjalanan yang saya tempuh sekitar 1 jam untuk sampai kesana. Untung saja, sejuk dan dinginnya kereta memanjakkan tubuh saya di pagi hari. Sembari menyaksikan fajar menyingsing, mengakui KekuasaanNya. Seakan terlupakan kemacetan di pagi hari yang saya rasakan, sesaat saya keluar dari gang rumah saya. Tetapi, rasa seperti itu hanya berlangsung selama 1 jam saja, sesaat saya sampai di Stasiun Pasar Minggu semuanya buyar seakan debu-debu yang berterbangan di udara. Kondisi lalu lintas di sekitar Stasiun Pasar Minggu jika dalam waktu orang-orang berangkat kerja sangatlah tidak kondusif dan seakan tidak ada aturan yang berlaku disana. Disebelah kiri Stasiun Pasar Minggu, terdapat satu perlintasan palang pintu kereta api, yang setiap harinya, khususnya pada jam-jam berangkat kerja sangatlah membludak orang ingin melewatinya. Dari arah yang berlawanan, orang-orang seakan berlomba mendapatkan gelar juara dunia untuk terbebas dari palang pintu tersebut. Sodok sana-sini, bunyi klakson yang menghiasi wara-wiri, dan emosi yang berujung pada umpatan terkadang berhembus kencang dari mulut orang-orang yang suda mumet pikirannya akan kemacetan tersebut. Memang, kemacetan yang terjadi di sekitar palang pintu itu, bukan dikarenakan pada posisi palang pintu itu saja, akan tetapi, perilaku dari pengendara motor yang sering melawan arah, sering mengambil hak dari para pejalan kaki, dan terkungkung pada egoisme semata membuat kemacetan semakin parah. Padahal, jika kita bisa berlaku tertib dan disiplin, kondisi macet parah tidak akan terjadi. Dan terkadang, kemacetan yang terjadipun, tidak bisa dan tidak mampu dipecahkan oleh pihak kepolisian, saya sering melihat, ada beberapa polisi disana, tetapi mereka tidak membantu untuk mengurai kemacetan tersebut. Entahlah kenapa, mungkin itu bukan tupoksinya?? mungkin tupoksinya hanya ingin mencari mangsa baru untuk ditilang??. Kemacetan disana berlangsung cukup lama memang, sekitar 40-60 menit. Tetapi, yang pasti, kemacetan di sekitar palang pintu Pasar minggu sangatlah parah kalau jam-jam berangkat kerja. Nah, sekarang saya akan membicarakan pada saat pulang kerja. Kemarin, saya sampai di sekitar palang pintu kereta api Pasar Minggu dalam kondisi hujan rintik-rintik, sekitar jam 6 malam. Dan kondisi di sekitar palang pintu sangatlah parah kemacetannya, bahkan untuk sampai ke beranda stasiun pun sangatlah sulit mencapainya. Saya harus mengalah dan berbagi dengan pengendara motor yang bodoh akan aturan. Saya juga harus berbagi jalan dengan para pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir trotoar. Saya harus juga menuggu giliran untuk melewati akses palang pintu tersebut karena jalan dipenuhi oleh puluhan pengendara motor. Bau keringat, bau makanan, asap knalpot, klakson motor, dan umpatan menggerayangi pandangan dan pendengaranku. Pusing dan emosi tidak bisa ditawar kedatangannya jika dalam kondisi seperti itu. Dan untung saja, ada beberapa warga sekitar sana yang mencoba dan berusaha untuk membantu mengurai kemacetan yang terjadi. Ya, memang, kemacetan tidak bisa terurai 100%, akan tetapi, menurut saya cukuplah efektif untuk membantu menertibkan pengendara motor yang bandel. Seperti saya sebutkan tadi, saya berbagi jalan dengan pengendara motor, tetapi disaat sang pengendara motor tersebut ingin keluar dari zona trotoar, ia pun dimarahi dan disuruh putar balik ke jalan yang seharusnya dilalui motor. Kemacetan yang terjadi saat pulang kerja, ternyata 2 x lebih parang dibanding dengan berangkat kerja, apalagi jika dihiasi oleh hujan yang terjadi. Lalu, bagaimana seharusnya ini tidak terjadi lagi??. Disini saya bukan seorang ahli tata kota, saya hanya seorang mahasiswa yang kebetulan terjebak pada kondisi tersebut. Menurut saya, sebaiknya, palang pintu itu ditutup secara permanen, dan dipindahkan ke daerah sedikit lebih jauh dari area stasiun. Agar tidak membahayakan pengendara yang terjebak dalam kemacetan disaat ada kereta yang mau lewat. Lalu, kalau bisa, buat saja untuk satu lajur kendaraan di palang pintu itu jika tidak memungkinkan untuk ditutup. Dan, kalaupun tidak bisa juga, ya, sediakan saja petugas-petugas untuk mengatur lalu lintas di sekitar palang pintu kereta, agar pengendara jauh lebih tertib dan disiplin. Itu semua tidak akan berhasil, jika kedisiplinan dan ketertiban pengendara tidak muncul dari kesadaran diri sendiri sebagai seorang pengendara.
998 dilihat