Surat Pembaca Indonesia

Jamkesmas Berujung Kematian

Pemerintah

Jamkesmas berujung kematian (Potret Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin di Pamijahan, Kabupaten. Bogor) Saudara Juli tinggal di kampung. Pasarean Dua Rt. 02/Rw 02, Desa Pasarean, Kabupaten Bogor. Menikah dengan Siti Hajrah tahun 2008 dan tinggal serumah dengan mertua (Bapak Kutana) dan nenek (Ibu Hamsah). Bapak Kutana sejak September 2008 menderita sakit paru-paru dan Ibu Hamsah (nenek) sejak Februari 2009 juga sering meriang dan memilki darah dingin.Keluarga tersebut termasuk rumah tangga miskin dan termasuk peserta program pemerintah di bidang kesehatan dengan mendapat kartu Jamkesmas. Praktis, Juli membiayai ekonomi keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Juli bekerja sebagai buruh jahit di Jakarta dengan penghasilan kotor Rp. 200.000,-/minggu. Sedangkan istri tengah hamil tujuh bulan anak pertama. Keluarga merasa kehilangan setelah nenek (Ibu Hamsah) meninggal pada tanggal 18 Maret 2009 yang sebelumnya tidak mendapat perawatan medis. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan ekonomi keluarga untuk membawa nenek ke rumah sakit serta keengganan (takut biaya mahal) walau menggunakan kartu Jamkesmas.Pada tanggal 20 maret 2009 Siti Hajarah melahirkan secara premature hanya dengan bantuan tetangga (tanpa bantuan medis). Namun selang dua hari kemudian, bayi tersebut meninggal. Entah karena kelahiran premature dan tanpa bantuan medis, tapi keluarga selalu enggan menggunakan kartu Jamkesmas untuk pelayanan kesehatan di rumah sakit. Musibah terus menyelimuti keluarga tersebut, pada tanggal 20 April 2009, Bapak Kutana meninggal dirumah, pun tanpa bantuan medis. Sekali lagi, keluarga melakukan kejadian yang sama tiga kali berturut-turut anggota keluarga meninggal tanpa bantuan medis. Depresi besar menghinggapi keluarga terutama Siti Hajrah dengan meninggalnya orang-orang yang dicintai berturut-turut hanya kurang dari sebulan.Puncaknya pada tanggal 1 Mei 2009, Siti Hajrah jatuh sakit (tidak tersadarkan). Dengan bantuan tetangga, Juli memberanikan diri untuk membawa istrinya ke rumah sakit terdekat (Rumah Sakit Daerah Leuwliang). Pada waktu itu, tetangga Juli, (Ibu Dioh Muniroh) mengadukan kejadian tersebut kepada saudara Nazar dan Ruhiyat (anggota Serikat Rakyat Miskin Indonesia Kabupaten Bogor) untuk mendapat pendampingan pasien selama di rumah sakit dengan memakai kartu Jamkesmas. Pasien langsung di bawa anggota SRMI Kabupaten Bogor ke R.S.D Leuwliang dan ditangani oleh dr. Sri (Kepala R.S.D Leuwliang). Kondisi pasien semakin parah (koma) dan harus mendapat oxygen. Menurut dr. Sri “kondisi pasien yang semakin kritis tersebut harus di bawa ke I.C.U, sementara R.S.D Leuwliang tidak punya”. Sejak tanggal 2 Mei 2009, pihak R.S.D Leuwliang melalui Bapak Dedi berupaya berkoordinasi dengan rumah sakit yang ada di bogor untuk menanyakan ruangan kosong I.C.U.Ternyata ruang I.C.U tidak ada yang kosong di semua rumah sakit yang ada di Bogor. Pasien terpaksa dirawat seadanya sampai tersedianya ruang I.C.U di rumah sakit ada yang ada di Bogor yakni Rumah Sakit Islam Bogor. Ruang I.C.U baru ada pada Kamis, 7 Mei 2009. Pasien (Siti Hajrah) pun langsung dibawa ke Rumah Sakit Islam ada pagi hari pkl 09.45 WIB dari R.S.D Leuwliang. Pada hari yang sama, Juli dan Nazar juga mengurus administrasi Jamkesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor (tanda tangan Kabid Yankesmas, Drg. Hesti Iswandari, M.Kes dan mendapat acc rawat inap di kelas III). Diagnosa dr. Enny (yang memeriksa Siti Hajrah) di H.C.U adalah penurunan kesadaran. Hasil pemeriksaan tersebut pasien harus membeli salinan resep dokter trihaji yakni obat Phegton Amp III seharga Rp. 210.000,-.Namun pasien memang sudah tidak memilki uang sepeserpun untuk membeli obat, bahkan keluarga untuk membeli makan saja sudah kesulitan. Penulis bersama saudara Nazar dan keluarga sudah berulangkali mengurus obat tersebut pada pihak Rumah Sakit Islam dan berkoordinasi dengan pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor agar obat tersebut diusahakan secepatnya dengan bukti surat acc peserta Jamkesmas dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, namun obat tersebut menurut alasan rumah sakit sedang kosong dan harus beli dari apoteker setempat tanda tangan dr. Trihaji. Sampai hari Jumat (8 Mei 2009) pkl 19.00 WIB, obat tersebut tidak terbeli karena memang keluarga tidak memiliki uang sepeser pun, hingga pukul 19.30 WIB, Siti Hajrah meninggal di Rumah Sakit Islam tanpa harus mendapat pelayanan obat Phegton Amp III dari Rumah Sakit Islam Bogor yang sudah terdaftar di Dinkes Kabupaten Bogor sebagai peserta Jamkesmas.Saya sebagai anggota Serikat Rakyat Miskin Indonesia Kabupaten Bogor yang turut mendampingi pasien Siti Hajrah dan keluarga dari awal masuk ke R.S.D Leuwliang – Rumah Sakit Islam Bogor turut berduka cita dan prihatin mendalam serta ingin memberi saran dan kritik kepada :1. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor sangat lamban untuk merespone pasien (Siti Hajrah) yang kondisinya darurat dan sangat memprihatinkan.2. Infrastruktur R.S.D Leuwliang sebagai aset Pemda Kabupaten Bogor harus ditingkatkan, sebab dengan adanya program Jamkesmas dari Pemerintah Pusat (Depkes) hanya omong kosong bagi rakyat miskin di daerah ketika fasilitas sangat minim.3. Meninjau kembali komitmen pemerintah melalui Dinas Kesehatan terhadap Rumah Sakit milik pemerintah daerah maupun milik swasta terhadap pelayanan pasien peserta Jamkesmas bagi rakyat miskin.4. Mendesak Pemerintah Pusat untuk meninjau ulang keberadaan Rumah Sakit Swasta yang semakin menjamur di daerah namun perannya semakin tidak berpihak bagi rakyat miskin.5. Mendesak Bupati Bogor untuk meninjau kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor berikut perangkat organisasi dan pegawai di rumah sakit yang dikelola pemda.  Ruhiyat S Kp Pasarean Rt 02/Rw 02, Desa Pasarean, Kec. Pamijahan. Kabupaten Bogor


1363 dilihat