Menolak Sambil Mengikuti
19 April 2016
Masyarakat, Rumah Tangga & Layanan Pribadi
Menolak sambil mengikuti Bila menengok sisi keberadaannya, pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang melekat kuat dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak beratus tahun lalu. Sehingga, Ki Hajar Dewantara pernah mencita-citakan model pesantren ini sebagai sistem pendidikan Indonesia. Selain sudah lama melekat dalamkehidupan di Indonesia, modal ini juga merupakan kreasi budaya Indonesia, setidak-tidak nya jawa, yang patut dipertahankan dan dikembangkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren telah banyak memberikan andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Menurut Nur Kholis Majid, seandainya negeri ini tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang di tempuh pesantren-pesantren itu. Sehingga perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa ITB, UGM, UNAIR, IPB, ataupun yang lain, tetapi mungkin namanya “Universitas” Tremas, Krapyak, Tebuireng, Lasem, Tambakberas, dan seterusnya. Kemungkinan ini diambil Cak Nur setelah mengamati dan membandingkan pertumbuhan sistem pendidikan di negeri-negeri barat. Banyak sekali Universitas terkenal yang semula beorientasi keagamaan. Semisal, perguruan tinggi yang didirikan oleh pendeta Harvard yang telah melahirkan banyak pemimpin yang handal dan luar biasa dalam masanya. Pesantren dalam modernisasi Sejak dilancarkan perubahan atau modernisasi pendidikan islam diberbagai kawasan dunia muslim, tidak banyak lembaga pendidikan tradisional islam seperti pesantren yang mampu bertahan. Kebanyakan lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan sekuler atau mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum. Hal ini dapat kita lihat pengalaman beberapa wilayah pada kawasan dunia muslim lain. Menjelang pertengahan abad 19, Turki memulai pembeharuan pendidikan tradisional islam, ditandai dengan berdiri sekolah-sekolah baru dengan sistem pendidikan Eropa, yang pada awalnya ditujukan untuk kepentingan reformasi militer dan birokrasi Turki Usmani. Seperti kemunculan “Mekteb-I Ilmi Harbiye” pada tahun 1834. Dan perubahan ini mencapai klimaknya pada tahun 1924, yaitu ketika Mustofa Kemal Atarurk mengahapus sistem medresse dan kuttab dengan mengubahnya menjadi sekolah-sekolah umum. Pengalaman yang sama juga ditempuh oleh mesir. Modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan dimulai oleh Muhammad Aly Pasha pada tahun 1833. Ia mengeluarkan dekrit pembentukan sekolah dasar umum yang semula dimaksudkan untuk menyiapkan calon-calon perwira militer. Sementara itu, madrasah dan kuttab secara umum tidak mengalami perkembangan yang bearti. Kuttab hanya menjadi semacam pelengkap saja. Sistem model ini mengalami proses yang sulit dan berjalan tertatih sampai menjelang kemerdekaan mesir. Pasca merdeka, pemerintah Gamal Abdel Nasser pada tahun 1961 secara resmi menghapus sistem madrasah dan kuttab dalam wilayah kekuasaan nya. Pengalaman diatas tampak nya sudah bisa mewakili dan menggambarkan proses memudar dan lenyapnya sistem pendidikan tradisional islam dalam gelombang modernisasi. Dan Indonesia pun tak terelakan dari demam modernisasi. Gerakan reformis muslim Indonesia menemukan momentumnya pada awal abad 20. Menurut mereka, untuk menjawab tantangan kolonialisme dan Kristen diperlukan reformasi sistem pendidikan islam. Dalam konteks ini kita dapat menyaksikan munculnya sekolah adabiyah yang didirikan Abdullah Ahmad di padang pada tahun 1909 dan sekolah-sekolah umum model belanda yang didirikan organisasi semacam Muhammadiyah. Pada tahun 1925 saja Muhammadiyah sudah mempunyai 8 Hollandsch-Inlandsche School (HIS), 1 sekolah guru dan 32 sekolah dasar, 1 sekolah schakel dan 14 madrasah. Dalam menghadapi fenomena arus deras moderinisasai pendidikan islam pesantren terlihat menggunakan metode “menolak sambil mengikuti”. Komunitas pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi disaat yang bersamaan mereka juga melakukan sejumlah akomodasi dan penyesuaian yang mereka anggap mendukung kontinuitas pesantren. Dalam kaitan ini, pesantren Bahrul Ulum tambakberas, pesantren Mambaul Ulum Surakarta, dan pesantren tebuireng mengambil tempat paling depan dalam merambah bentuk respon pesantren terhadap ekspansi pendidikan belanda dan pendidikan islam modern. Dan pada tahun 2016 ini adalah pas satu abad (1916-2016) sistem madrasah dipakai oleh Bahrul Ulum yang dipelopori oleh KH Wahab Chasbullah. Hebatnya, pesantren melakukan perubahan secara bertahab, perlahan, dan hamper sulit diamati. Para kiyai secara berlapang dada mengadakan modernisasi lembaga ditengah perubahan masyarakat khusnya jawa, tanpa meninggal kan sisi positif sistem pendidikan islam tradisional. Pesantren beruntung pernah memiliki Menteri Agama KH. A. Wahid Hasyim dari pesantren Tebuireng, yang dengan kebijakannya mencoba menjembatani antara dunia pesantren denan diluar pesantren. Tokoh Nadlatul Ulama’ ini melakukan pembaharuan pendidikan agama islam di Indonesia lewat peraturan menteri agama no 3/1950. Beliau menginstruksikan pemberian pelajaran umum di madrasah, dan memberi pelajaran agama di sekolah negeri dan swasta. Dengan kebijakkannya itu, duniaq pesantren tetap relevan dengan perkembangan kebutuhan pendidikan masyarakat dan dunia luar dapat mengadopsi keunggulan pesantren. Berbeda dengan Malaysia, pesantren di negeri jiran tidak dapat memelihara relevansi keberadaannya dengan tuntutan kehidupan yang ada. Mereka tidak mau menerima sistem sekolah, apalagi memberikan ijazah atau diploma yang diutamakan hanya pendidikan ritual keagamaan. Oleh karena nya, pesantren di Malaysia perkembangan nya tidak sehebat Indonesia. Ini terlihat semakin banyaknya santri-santri yang berasal dari negeri tetannga ini yang belajar di pesantren Indonesia. Kiai dan modrenisasi Tidak semua pesantren menerapkan sistem seperti pesantren Rejoso, Tambakberas, dan Gontor. Kita masih mudah menjumpai peantren yang tetap kukuh mempertahankan sistem salafnya. Ada nya pengaruh semangat pribadi pada pendiri dan pengasuh pesantren punya peran penting dalam menentukan visi dan misi lembaganya. Hal ini tidak bisa dihindarkan dan ini bukanlah kesalahan pengasuhnya. Pesantren yang memproklamirkan diri mereka modern dan memiliki perguruan tinggi saja belum bisa professional dalam membagi wilayah dan kewajiban pengasuh, rector, dan mahasiswa, pengaruh pengasuh masih sangat dominan dalam mendikte setiap kebijakan. Sering kali dawuh sang kiai menjadi konstitusi yang tak tertulis, mengalahkan undang-undang yang telah disepakati bersama sebelumnya. Dan kalau mau jujur, seringkali perguruan tinggi hanya dianggap pendidikan tingkat lanjut dari madrasah diniyah saja. Mungkin hanya status dalam data pemerintah saja yang berubah, pembaharuan menjadi hal yang sangat sulit dilakukan karena sikap ketergantungan kepada figure kiai sangat besar. Perguruan tinggi dan pesantren adalah dua tradisi pendidikan yang mempunyai banyak perbedaan. Namun menggabungkan kedua nya bukan lah hal mustahil, setidaknya mendekati sempurna. Perguruan tinggi mempunyai keunggulan dari sisi Rasionalitas dan ditambah dengan pengayaan dibidang skill, tetapi minus moral. Hal ini bisa ditutupi oleh pesantren yang mempunyai ke unggulan dari segi moralitas tetapi lemah secara intelektual. Maka sudah waktunya dicari usaha kearah terciptanya satu sintesa konvergensi atau sinergisitas sehingga dapat dicapai satu kesatuan antara moralitas-rasionalitas, ruhaniah-jasmaniah, santri yang akademis dan akademisi yang santri. Setidaknya ini bisa dimulai dengan memberikan kesempatan mahasiswa untuk mengembangkan penalarannya, sikap kritis, cinta ilmu pengetahuan, kajian-kajian ke ilmuan, serta menambah buku bacaan diperpustakaan atau melatih mahasiswa sikap tanggung jawab lewat badan eksekutif mahasiswa dan unit kegiatan mahasiswa. Sehingga sintesa yang diinginkan betul-betul menyeluruh, bukan hanya bersifat artifisial dan utopi. By. Niendi
1185 dilihat