Surat Terbuka ke tribunnews yang artikelnya mendiskreditkan agama Buddha
10 July 2021
Lain-Lain
Salam sejahtera untuk kita semua, Sebenarnya sebelum menulis surat terbuka ini pun saya sudah sering gemes dengan tribunnews yang suka menulis berita dengan "serampangan", terlebih sebagai media berita yang harusnya memberi contoh kepada generasi muda terutama anak-anak sekolah yang sering diberikan tugas untuk mengutip berita, secara tidak langsung akan terkena dampaknya. Sebut saya tribunnews yang suka menulis dengan kata-kata prokem seperti "gegara", "tetiba", dsb. OK balik lagi ke permasalahan utama. Saya menemukan sebuah artikel tribunnews serampangan lainnya yang menurut saya sudah kelewat batas dan perlu ditanggapi dengan serius, atau lebih tepatnya mohon tribunnews lebih serius membuat artikel. berikut link berita tersebut https://makassar.tribunnews.com/2021...-agar-disembah Judul yang sangat provokatif, clickbait, serta rentan sekali menyakitkan hati para pemeluk agama Buddha atau bisa dibilang mengina agama Buddha (BTW saya bukan buddist, tapi saya saja kzl) Yang terbesit bagi para pembaca adalah artikel tersebut menggambarkan betapa aneh dan bodoh serta gilanya ada biksu yang begitu gilanya menyiksa diri sedemikian rupa, berusaha menjadikan dirinya sendiri mumi, dan yang lebih gilanya umat Buddha yang menyembah mumi tersebut. Sudah jadi rahasia umum di Indonesia ini sering sekali ada penghinaan-penghinaan terhadap agama-agama yang sebenarnya muncul dari kebencian serta kurang saling menghargai antar pemeluk agama. Terlebih lagi kesimpang siuran informasi seperti yang dilakukan tribunnews ini yang membuat stigma-stigma buruk terhadap agama-agama makin menjadi-jadi. Pertanyaan utamanya, Apakah benar umat Buddha kerap menyembah mumi-mumi seperti artikel tribunnews tersebut? Oke kita telisiki artikel ini Quote:TRIBUNTIMUR.COM - Di Jepang, ada sebuah praktik unik sekaligus mengerikan yang dilakukan oleh biksu-biksu. Mereka mengubah tubuh mereka menjadi mumi.Orang Jepang menyebut mumifikasi ini dengan sebutan sokushinbutsu. Sokushinbutsu dipelopori oleh seorang pendeta Jepang bernama Kukai. Praktek ini telah berlangsung selama kurang lebih 1.000 tahun lebih. Tubuh biksu yang berhasil melalui praktik ritual ini secara anumerta akan ditempatkan di sebuah kuil untuk dilihat dan dihormati orang-orang lain. Dikutip dari Ancient Origins, Kukai (774 - 835 Masehi) sang pelopor sokushinbutsu adalah seorang biksu Jepang, pegawai negeri, sarjana, penyair, seniman, dan pendiri sekte esoterik yang dikenal sebagai Shingon. Sekte ini menggabungkan unsur-unsur dari Buddhisme, Shinto Kuno, Taoisme, dan agama lain. Kukai dan para pengikutnya mempraktikkan Shugendo, sebuah filosofi yang didasarkan pada pencapaian kekuatan spiritual melalui disiplin dan penyangkalan diri. Menjelang akhir hidupnya, Kukai melakukan meditasi mendalam dan menolak semua makanan dan air, yang akhirnya menyebabkan ia meninggal. Dia dimakamkan di Gunung Koya di prefektur Wakayama. Beberapa waktu kemudian, makamnya dibuka dan Kukai, yang dikenal secara anumerta sebagai Kobo-Daishi, diduga ditemukan sedang tidur, coraknya tidak berubah dan rambutnya sehat dan kuat. Wujud jasadnya seperti mumi yang awet meski tanpa pembalseman dan bahan pengawet seperti yang diberikan pada mumi di Mesir. Sejak saat itu, praktik ritual sokushinbutsu makin berkembang dan proses mumifikasi diri ini dipraktikkan oleh sejumlah pengikut sekte Shingon yang berdedikasi tinggi. Para praktisi sokushinbutsu tidak melihat praktik ini sebagai tindakan bunuh diri, melainkan sebagai bentuk pencerahan lebih lanjut. Dalam buku Living Buddhas: The Self-Mummified Monks of Yamagata, Japan, Ken Jeremiah menunjukkan bahwa banyak agama yang memandang mayat yang tetap utuh sebagai tanda keanggunan khusus atau kemampuan supernatural. Proses mumifikasi diri dalam sokushinbutsu Langkah-langkah dalam membuat tubuh sendiri menjadi mumi dalam sokushinbutsu ini sangat keras dan menyakitkan. Selama 1.000 hari pertama, para biksu berhenti makan kecuali kacang-kacangan, biji-bijian, buah-buahan, dan beri-berian. Selain itu, mereka juga melakukan aktivitas fisik yang ekstensif untuk menghilangkan semua lemak tubuh. Selama seribu hari berikutnya, mereka hanya makan kulit kayu dan akar. Menjelang akhir periode ini, mereka akan meminum teh beracun yang terbuat dari getah pohon Urushi, yang menyebabkan mereka muntah dan kehilangan cairan tubuh dengan cepat. Itu juga bertindak sebagai pengawet dan membunuh belatung dan bakteri yang akan menyebabkan tubuh membusuk setelah kematian. Pada tahap akhir, setelah lebih dari enam tahun persiapan yang menyiksa, para biksu akan mengunci dirinya di dalam kuburan batu yang ukurannya hampir tidak lebih besar dari tubuhnya. Masing-masing mereka masuk ke sana dalam keadaan meditasi. Mereka duduk dalam posisi lotus, posisi yang tidak akan dipindahkan sampai mereka meninggal. Sebuah tabung udara kecil memberikan oksigen ke makam. Setiap hari, para biksu itu membunyikan bel untuk memberi tahu dunia luar bahwa mereka masih hidup. Ketika bel berhenti berdering, tabung itu dilepas dan kuburan disegel selama periode seribu hari terakhir dari ritual tersebut. Pada akhir periode ini, kuburan akan dibuka untuk melihat apakah para biksu tersebut berhasil membuat dirinya sendiri menjadi mumi. Jika jasad seorang buksu ditemukan dalam keadaan terawetkan, biksu itu dinaikkan statusnya menjadi Buddha, jasadnya dikeluarkan dari kubur dan dia ditempatkan di sebuah kuil tempat dia disembah dan dipuja. Namun jika jasad seorang biksu ditemukan telah membusuk, jasad biksu itu kembali dikubur di makamnya dan dihormati karena daya tahannya, tetapi tidak disembah.(*) Artikel ini telah tayang di [url=https:][color=#016fba]Tribun-Timur.com[/color][/url] dengan judul Kisah Para Biksu di Jepang yang Sengaja Ubah Diri Jadi Mumi Agar Disembah, https://makassar.tribunnews.com/2021/07/06/kisah-para-biksu-di-jepang-yang-sengaja-ubah-diri-jadi-mumi-agar-disembah Gambar ilustrasi tribunnews bertuliskan "istimewa". Entah apa maksudnya istimewa ini tetapi kok sama dengan gambar yang terdapat di artikel wikipedia berikut ini: https://en.wikipedia.org/wiki/Sokushinbutsu Sumber artikel ini ada dikatakan dari "Ancient Origins", tetapi waktu saya mencoba mencari refrensi tersebut ketemu artikel ini: https://www.ancient-origins.net/hist...ication-003166 Di artikel tersebut tidak ada disebutkan bahwa mumi biksu akan disembah atau semacamnya, tetapi disebutkan dianggap sebagai orang suci atau Bodhisattva dalam agama Buddha. Setelah dilihat-lihat, artikel tribunnews ini mirip dengan artikel wikipedia dengan link di atas: https://en.wikipedia.org/wiki/Sokushinbutsu Di dalam artikel wikipedia itu terdapat kata-kata "These mummies have been revered and venerated by the laypeople of Buddhism" dikutip dari Tullio Federico Lobetti (2013). Ascetic Practices in Japanese Religion. Routledge. pp. 130-136. ISBN 978-1-134-47273-4. Saya curiga apakah kata-kata ini yang diterjemahkan oleh tribunnews sebagai "disembah"? Mari kita cek apa sih arti kata "revered"? revere verb [ T ]    formal UK  /rɪËvɪÉr/ US  /rɪËvɪr/ to very much respect and admire someone or something: Nelson Mandela is revered for his brave fight against apartheid. [url]https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/revered [/url] Lalu apa itu "venerated"? venerate verb [ T ]    formal UK  /Ëven.Ér.eɪt/ US  /Ëven.É.eɪt/ to honour or very much respect a person or thing: Robert Burns is Scotland's most venerated poet. dictionary.cambridge.org/dictionary/english/venerate Jelas sekali dari penjelasan cambridge dictionary tersebut, kata-kata revered atau venerated punya arti adalah dihormati dengan sangat. Apakah ini berarti tribunnews dengan liarnya menterjemahkan kata "revered", "venerated" dan semacamnya sebagai penyembahan? ok ada satu lagi nih artikel dari jref.com (Japan Reference) https://jref.com/articles/sokushinbu...se-mummies.78/ Di situ juga tidak ada disebutkan soal penyembahan Balik lagi ke pertanyaan utama, Apakah benar umat Buddha kerap menyembah mumi-mumi atau Buddha/Boddhisatva? Ini jawabanya dapat Anda baca [url]https://tricycle.org/beginners/buddhism/do-buddhists-worship-the-buddha/ [/url] Spoiler for spoiler: Simply put, Buddhists do not worship the Buddha, though they do revere him. The Buddha was not a god or deity, and he cautioned his disciples against thinking of him as one. He also did not condone idolatry. He wanted his life to serve as an example of the fact that by training the mind, any ordinary person could achieve enlightenment and find the same kind of reliable, lasting happiness that he had discovered. Jadi sudah jelas tribunnews menulis artikel yang tendensius, bahwa Umat Agama Buddha tidak menyembah buddha/boddhisatva/orang suci melainkan sangat-sangat dihormati sebagai contoh teladan dan inspirasi mencapai kesempurnaan. Besar harapan saya agar tribunnews dapat menghapus artikel tersebut secara khusus dan siapapun di dunia maya baik portal berita maupun perorangan dan ke depannya lebih hati-hati dalam membuat artikel terutama yang menyangkut agama. Salam sejahtera untuk kita semua
713 dilihat