Surat Terbuka Kepada Prof Dr Didik J Rachbini
05 September 2019
Lain-Lain
Surat Terbuka kepada Prof. Dr. Didik J. Rachbini Dari seorang aparatur sipil negara Kementerian Perdagangan RI Profesor Didik yang saya hormati, Saya adalah bagian dari generasi muda yang mengagumi Bapak sebagai ekonom yang kredibel di negeri ini. Ulasan Bapak selalu bernas, tajam, dan fokus membuat Bapak mendapat tempat tersendiri dibanding banyak pakar ekonomi yang ada. Kekaguman itu membuat saya terenyak ketika membaca berita di sejumlah media daring ketika Bapak mengomentari rencana Presiden Joko Widodo memindahkan fungsi perdagangan internasional dari Kementerian Perdagangan ke Kementerian Luar Negeri. Dikutip oleh media, Bapak mengatakan, âDalam pandangan saya ini ide bagus, karena diplomasi dagang yang dilaksanakan Kemendag itu diplomasi tingkat rendah, tidak bermutu, sering kebobolan dan tidak pernah belajar juga, sehingga urusan udang dengan Eropa saja tidak selesai-selesai. Karena itu Presiden mau pindahkan.â Saya sempat berharap jurnalis salah kutip. Namun, karena terbit di lebih dari satu media, saya jadi yakin memang Bapak berpendapat seperti itu. Dengan rendah hati, saya yang masih junior ini menyesalkan pernyataan Bapak yang tidak akurat dan berpotensi misleading karena Bapak mungkin kurang mendapat update perkembangan perdagangan internasional kita. Profesor Didik yang saya hormati, Saya adalah generasi muda yang beruntung mendapat kesempatan bekerja di Kementerian Perdagangan dan ditempatkan di bidang perjanjian perdagangan internasional. Saya melihat, mendengar dan beberapa kali mengalami sendiri dinamika sebuah perundingan untuk menyepakati sebuah perjanjian perdagangan. Di sini saya bisa berbagi pengalaman dan insight yang mungkin belum Bapak dapat karena hanya mengamati dari jauh. Perundingan perjanjian perdagangan sangat kompleks, mencakup topik-topik perdagangan barang, perdagangan jasa, investasi, Hak Kekayaan Intelektual, kerja sama peningkatan kapasitas, dan persaingan usaha yang sehat. Belakangan, cakupan perundingan merambah ke wilayah e-commerce, belanja pemerintah, peranan BUMN dalam konteks persaingan sehat, perdagangan yang âsustainableâ seperti isu hak pekerja dan lingkungan, dan lainnya. Dalam kelompok âperdagangan barangâ, perundingan tidak berhenti hanya pada pertukaran komitmen penurunan atau penghapusan tarif, namun juga ada elemen ketentuan asal barang, sanitary and phytosanitaryâ (kesehatan dan keamanan manusia, hewan dan tumbuhan pada komoditas ekspor/impor), ketentuan teknis, standar dan kesesuaian, tata kepabeanan, dan trade remedy. Dalam kelompok âperdagangan jasa,â tim runding harus menguasai prinsip most favoured nation (MFN) dan national treatment, kebijakan equity cap, non-confirming measures, ratcheting, juga isu-isu lainnya pada empat moda suplai jasa. Dalam konteks ini kita bisa membahas soal ekspor udang ke Uni Eropa sebagai studi kasus. Menurut Bapak, masalah ini tidak kunjung selesai karena diplomasi Kemendag yang tingkat rendah dan tidak bermutu. Mari kita lihat duduk persoalannya. Komoditas udang Indonesia sulit memasuki pasar UE karena mengandung aflatoxin yang melampaui ambang batas aman. Sejumlah negara eksportir udang juga pernah mengalami hal yang sama. Setelah melalui usaha inovasi, mereka berhasil menurunkan aflatoxin udang yang diekspor ke UE. Karena itu, PR kita adalah inovasi di sektor produksi pangan agar mampu menurunkan kadar aflatoxin. Tidak bisa Indonesia bersikeras agar UE menurunkan standar keamanan pangan mereka. Ini bukan soal diplomasi tingkat rendah, tapi PR di sektor hulu yang harus dituntaskan. Yang juga mungkin luput dari amatan Bapak adalah kompleksitas internal antar-kementerian dan lembaga pembina sektor dalam menentukan posisi perundingan. Kemendag mengoordinasikan perundingan perdagangan sementara kementerian dan lembaga memberi input untuk menyusun posisi runding âacross the board.â Proses ini dilakukan melalui pertemuan-pertemuan intensif di bawah koordinasi Kemendag. Harus penulis sampaikan di sini, ada kecenderungan kementerian dan lembaga melihat sebuah perundingan hanya dari kacamata kepentingan sektor binaannya saja, sehingga sering terjadi perundingan internal ini lebih sulit daripada perundingan dengan negara mitra. Dalam beberapa perundingan, posisi Indonesia sangat defensif dan sulit mengambil posisi ofensif karena kementerian dan lembaga terkait khawatir bila Indonesia ofensif maka mitra runding akan meminta trade off yang akan sulit âdibayarâ oleh Indonesia. Dalam beberapa putaran perundingan, posisi Indonesia bahkan lebih defensif dibanding Least Developed Countries (LDCs), dan Kemendag harus selalu mencoba mencari perimbangan baru posisi runding melalui konsultasi lintas institusi yang kadang harus dikonsultasikan ke tingkat Wakil Presiden. Profesor Didik yang saya hormati, Mari kita melihat data capaian perjanjian perdagangan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Selama periode pertama Presiden Jokowi, Indonesia berhasil menyelesaikan 17 perjanjian perdagangan. Rincinya, hingga Oktober 2019 ini 14 perjanjian telah rampung dan masih ada tiga perjanjian yang akan tuntas sampai akhir tahun ini. Saat ini sejumlah perundingan dengan mitra dagang penting juga sedang berlangsung, seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yaitu perjanjian kerja sama perdagangan antara negara anggota ASEAN dengan enam negara mitra; perundingan dengan UE, Korea Selatan, Turki dan perundingan bilateral lainnya; serta perundingan sebagai negara anggota ASEAN dengan negara mitra. Bagi Bapak dan masyarakat pada umumnya, angka 17 ini mungkin terlihat kecil. Namun, yang jarang diketahui, sudah 12 tahun Indonesia hanya memiliki 7 perjanjian dagang sehingga ekspor Indonesia sulit bersaing dengan negara-negara yang sudah mengikat perjanjian. Contoh paling aktual adalah Turki yang mengalihkan impor sawitnya dari Indonesia ke Malaysia setelah Negeri Jiran itu merampungkan perjanjian dagang yang menyediakan penurunan tarif dan fasilitas lainnya. Selain jumlah perjanjian, posisi Indonesia sebagai âlead negotiatorâ negara-negara ASEAN dalam RCEP meningkatkan posisi geopolitik Indonesia sebagai negara yang berpengaruh di kawasan. Modal awal ini dapat dikapitalisasi lebih lanjut di masa depan. Setiap perjanjian tentu menawarkan kesempatan maupun tantangan karena memuat komitmen pembukaan akses pasar negara yang melakukan perundingan. Kementerian dan lembaga sering abai mengambil langkah penyesuaian dan mitigasi tantangan yang muncul, padahal perjanjian yang dihasilkan itu merupakan hasil konsultasi bersama. Ini mungkin yang Bapak anggap âkebobolanâ. Namun, jika Bapak berkenan melihat lebih jernih, yang sebenarnya perlu dikuatkan adalah antisipasi dan mitigasi kementerian dan lembaga pembina sektor terhadap konsekuensi suatu perjanjian. Profesor Didik yang saya hormati, Sebagai generasi muda dan punya pengalaman terjun langsung dalam sejumlah proses perundingan perdagangan internasional, saya optimistis dan ingin menyebar optimisme bahwa ke depan perdagangan internasional kita akan menghasilkan capaian yang lebih baik didasari perjanjian perdagangan yang kuat dan menguntungkan. Presiden Jokowi telah membimbing kami, para aparatur sipil negara di Kemendag dan kementerian dan lembaga lainnya untuk berani menjebol dinding âkemustahilanâ. Bapak Presiden juga telah meletakkan fondasi yang kokoh bagi perundingan perdagangan ke depan, apa pun bentuk kelembagaannya. Kini tinggal kita menyelesaikan PR besar berupa sinergi dan koordinasi antar-kementerian dan lembaga, serta perbaikan di sektor hulu untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Semoga catatan ringkas ini dapat melengkapi informasi yang Bapak miliki. Saya tetap berharap Bapak akan selalu menjadi cendekiawan yang membawa lilin penerang di tengah masyarakat yang butuh bimbingan, seperti yang saya kagumi dari sosok Bapak selama ini. Semoga Allah SWT memberkati kita semua. Hormat saya, Kusumadewi Kementerian Perdagangan RI Tulisan ini adalah pendapat pribadi
670 dilihat