Surat Terbuka Untuk Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia
08 December 2017
Lain-Lain
Surat Untuk Pak Menteri dari Pelajar NTT. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, salam sejahtera untuk Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, bapak Muhadjir Effendi yang terhormat. Surat ini saya tulis untuk menuangkan isi hati saya dan ungkapan hati anak-anak NTT. Pada tanggal 7 Desember 2017 kemarin, saya membaca sebuah artikel tentang pernyataan bapak terhadap Program for International Students Assessment (PISA) dari sebuah grup WA saya yang di mana artikel tersebut menyatakan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masuk ranking bawah. Dan di situ, saya melihat pernyataan bapak yang dikutip, " Saya khawatir yang dijadikan sampel Indonesia adalah siswa-siswa NTT." Melihat kutipan bapak tersebut, jujur, hati saya teriris dan air matapun langsung jatuh membasahi pipi saya. Saya yakin pak, bahwa bukan saja saya yang merasa sakit hati atas pernyataan bapak ini. Sebelum berbicara seperti itu, apakah bapak memikirkan bagaimana perasaan kami sebagai anak-anak NTT itu bagaimana? Dan kami anak-anak NTT adalah biang kerok rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia di kancah Internasional? Jika memang begitu, bukankah itu seharusnya menjadi doma agar bapak bisa memajukan pendidikan di NTT? Memang benar, pak! Kami anak NTT tidak sama dengan Jawa. Kami tidak mempunyai sarana-prasarana yang lengkap. Kekurangan ruang kelas hingga ada yang masuk siang. Termasuk tidak memadainya kondisi ruang kelas, dari atap, kursi, meja dan lainnya. Saya memang lahir dan besar di Kupang, dan mendapatkan pendidikan yang baik. Tapi, saya melihat sendiri adik-adik saya di Kab.Molo Utara, mereka pergi ke sekolah hanya bertelanjang kaki, tidak jarang yang memakai sendal, sepatupun sepatu butut/bekas. Mereka tidak diantar orang tua ataupun memakai mobil; berjalan berpuluh-puluh kilometer hanya untuk merasakan dan mendapatkan pendidikan yang mereka damba-dambakan. Saya pernah menanyakan kepada seorang anak kecil, kebetulan dia itu adalah anak dari Anaknya Kakak dari Bapak Nenek saya, namanya Filus, saya bertanya "kalau hujan besong pi skolah kermana" (Kalau hujan kalian ke sekolah bagaimana?), lalu ia menjawab bahwa kalau mereka ke sekolah ketika hujan, mereka memakai celana rumah, dan tas mereka dibungkus menggukan kantong plastik yang dimana tas mereka berisi pakaian seragam yang nantinya dipakai. Dan setelah sampai di sekolah, barulah mereka mengganti pakaian mereka dan bersiap untuk menerima pelajaran. Ketika mereka pulang, mereka harus membantu orang tua mereka untuk memberi makan sapi, babi *maaf, dan ternak mereka lainnya, lain dari pada itu ada juga yang membantu orang tua mereka berkebun. Mereka tidak mengenal lelah, pak. Ketika mereka pulang sekolah, mereka langsung mengganti pakaian seragam mereka dan menaruhnya di dalam tas kemudian lanjut membantu orang tua mereka. Di bawah kaki gunung mutis, kalau bapak ke sana, bapak bisa melihat anak-anak di sana membantu orang tua mereka dengan senyum yang selalu terpancar di wajah mereka. Perjalan dari sekolah ke sana sangatlah panjang, tanpa mengeluh, tanpa bersungut, mereka berjalan tanpa berjerih payah. Bapak harus tahu bahwa sapi yang berhasil mereka ternakkan mereka jual kemudian uang itu dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka termasuk kebutuhan sekolah mereka. Benar kata bapak, kami memang bodoh. Tetapi kami lebih memilih berjuang untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang lebih baik dibandingkan memilih untuk menyogohkan tangan untuk mengemis! Di balik makna tersirat bapak yang mungkin berpikir kami adalah orang-orang bodoh ada perjuangan keras dari kami anak NTT untuk menganyom pendidikan yang baik. Mengapa banyak anak putus sekolah? Mengapa banyak sarana pra-sarana sekolah di Indonesia yang tidak memadai? Dan bagaimana dengan kejadian di Papua yang beberapa waktu lalu yang mengharuskan anak-anak membayar mahal hanya untuk bersekolah? Disinilah tangan bapak kami butuhkan, untuk mengayomi dan memperbaiki kualitas atau mutu pendidikan kami. Bapak tahu, bukan hanya kami pelajar yang berjuang, tetapi para pengajar juga berjuang, pak! Bapak harus berpikir bagaimana perasaan Ibu dan Bapak guru kami yang membaca pendapat bapak seperti itu? Waktu saya kelas 10, sekolah saya menempatkan guru PPG, dan bapak tahu, sebelum itu mereka sudah ditempatkan duluan di tempat-tempat terpencil. Saya ambil contoh guru olahraga saya, namanya Pak Rein. Mereka dikirim ke pedalaman Papua untuk mengajar. Bapak tahu, mereka hanya berjalan kaki(pulang pergi), kadang tidak makan karena kebutuhan di sana mahal, tidak mandi karena kekurangan air di sana, tapi tidak pernah menyerah dalam meningkatkan mutu pendidikan di negara ini. Bapak bisa melihat, banyak orang-orang NTT yang ikut berjuang untuk memajukan pendidikan di negeri tercinta ini. Dan tetangga saya, yang mengajar di soe (TTS). Bapak Effendi yang terhormat, seharusnya bapak berpikir bagaimana cara membangun kualitas pendidikan Indonesia terkhususnya kami yg dikambinghitamkan sebagai menurunnya pendidikan Indonesia di kanca Internasional. Kalau memang kualitas pendidikan kami rendah, bukankah bapak yang seharusnya membantu kami untuk memajukan kualitas pendidikan kami? Untuk itukan bapak ada? Kami memang merasa selalu dipandang sebelah mata dalam dunia pendidikan. Memang pak, memang begitu! Tetapi pak, kami adalah orang-orang yang selalu menjaga mulut kami dari hal-hal yang menimbulkan perpecahan isu SARA. Jika bapak ke NTT, bapak bisa melihat bagaiman sikap ramah dari orang-orang NTT menyambut bapak. Pak, tidak sedikit orang NTT yang menjadi pelopor majunya pendidikan di Indonesia. Saya ambil contoh penata tari saya, Melki Jemry Edison Neolaka. Dia adalah seorang penata tari yang berasal dari NTT, tepatnya dari tanah Timor. Selain berkontribusi dalam kebudayaan, dia juga berkontribusi dalam dunia pendidikan dengan menjadi pengajar di universitas swasta di Batam, Kepri. Ia banyak menghasilkan karya-karya yang diakui di tingkat nasional, salah satunya menjadi penata tari terbaik 2017 dan menjadikan kami NTT sebagai juara umum parade tari nusantara 2017. Selain itu, banyak tarian-tariannya yg sudah dipentaskan di luar negeri. Itu baru satu contoh. Kalau saya memberikan contoh yang lain rasa-rasanya surat ini akan terasa sangat amat panjang. Sesekali bapak juga harus mencari tahu orang-orang NTT yang berkontribusi untuk memajukan bangsa ini. Mau dibaca ataupun tidak dibaca, setidaknya saya dan anak-anak NTT sudah menyampaikan perasaan kami. Kupang, 8 Desember 2017 Hormat Saya Yuniken Adellin Zacharias
603 dilihat