Surat Pembaca Indonesia

Transaksi Melalui ATM BRI Tidak Se-aman Transaksi Melalui Teller

Finansial

Nama saya Faisal Amin, saya adalah salah satu nasabah BRI. Kejadian ini dialami oleh Istri saya, pengalaman yang sungguh mengecewakan sebagai Nasabah BRI. Berikut surat pembaca yang istri saya tulis. Hari itu sembari menunggu nomor antrian loket customer service saya dipanggil, saya melihat  dengan jelas layar televisi di sudut ruangan kantor bank BRI (Bank Rakyat Indonesia) menampilkan sebuah iklan dengan slogan yang kurang lebih berbunyi “Transaksi Melalui ATM BRI Seaman Transaksi Melalui Teller”. Sayangnya, slogan tersebut terdengar sangat kontras dengan kondisi yang tengah saya alami, yang telah menyebabkan saya harus meluangkan lebih dari satu jam waktu saya di hari Senin tersebut, hanya untuk mengantri di loket customer service dengan pelayanan yang jauh dari memuaskan. Pada hari Sabtu, 25 Juli 2015, pukul 17:04:27, saya melakukan transaksi penarikan tunai dengan menggunakan kartu ATM Standard Chartered Bank atas nama suami saya (Faisal Amin) melalui ATM BRI terminal 91942 yang berlokasi di BRI KCP Unit Baturetno, Bantul, Yogyakarta. Penarikan senilai Rp 1,000,000 saya lakukan di mesin ATM yang jelas bertempelkan stiker untuk menandakan bahwa ATM tersebut menyediakan pecahan Rp 100,000. Setelah transaksi berhasil, saya dengan segera memeriksa lembaran uang yang ada di tangan dan sangat terkejut ketika ternyata saya menerima 10 lembar uang kertas yang terdiri dari 9 lembar pecahan Rp 100,000 dan 1 lembar pecahan Rp 50,000, sehingga total nilai uang yang saya terima hanya Rp 950,000. Namun, di tengah kebingungan tersebut, saya masih memutuskan untuk melakukan transaksi transfer yang memang saat itu cukup mendesak untuk dilakukan. Setelah itu, baru saya keluar dari ATM dan mencoba memikirkan tindakan apa yang bisa saya lakukan saat itu, mengingat kantor cabang BRI yang berada di lokasi tersebut sedang tidak beroperasi dan bahkan tidak terlihat seorang satpam pun yang berjaga disana. Akhirnya saya pun memutuskan untuk terlebih dahulu menghubungi Call BRI di nomor 14017, dan sejak saat itu pun tindak lanjut dari pihak BRI atas pengaduan saya cukup untuk membuktikan bahwa slogan di atas hanyalah omong kosong. Saat pertama kali menghubungi Call BRI, petugas dengan sigap menyarankan agar saya melakukan pengaduan ke pihak Standard Chartered Bank, bahkan menekankan bahwa kunci permasalahan terletak di kartu ATM, bukan mesin ATM, yang digunakan untuk melakukan transaksi. Suami saya yang menghubungi Call BRI untuk kedua kalinya beberapa saat kemudian juga memperoleh jawaban yang persis sama. Saldo di sistem (rekening Standard Chartered Bank) terpotong sejumlah transaksi penarikan tunai yang saya minta, sehingga disini jelas tidak ada kesalahan. Jumlah uang yang dikeluarkan oleh ATM BRI tidak sesuai dengan jumlah penarikan tunai yang saya minta, sehingga sangat jelas disini terjadi kesalahan. Dimana logika para petugas Call BRI yang dengan sigap melempar tanggung jawab permasalahan ini ke Standard Chartered Bank? Merasa tidak puas dengan jawaban yang diperoleh, suami saya menghubungi Call BRI untuk ketiga kalinya, dimana kali ini petugas menyarankan untuk melakukan pengaduan di kantor cabang BRI yang terdekat dengan ATM BRI tersebut untuk ditindaklanjuti. Pada hari Senin, 27 Juli 2015, sekitar pukul 13:00, saya tiba di kantor cabang BRI yang dimaksud untuk melakukan pengaduan sesuai dengan saran dari petugas Call BRI. Setelah menunggu kurang lebih satu jam, saya pun dilayani di loket customer service oleh seorang petugas yang bernama Putri. Selepas saya menjelaskan kronologi permasalahan yang menimpa saya, petugas tersebut memberikan tanggapan yang kurang lebih dapat dirangkum dalam poin-poin berikut: Saya telah bersalah karena tidak memeriksa kembali jumlah uang yang saya terima dari ATM, dimana seharusnya selalu dilakukan sebelum meninggalkan ATM, sama halnya nasabah harus selalu memeriksa jumlah uang yang diterima dari teller sebelum meninggalkan kantor bank BRI. Pihak BRI juga mempersilahkan apabila saya ingin melihat bukti berupa rekaman kamera CCTV bahwa saya terlihat langsung meninggalkan ATM setelah transaksi. Padahal, jelas saya langsung menyadari kekurangan uang tersebut pada saat itu juga. Pertanyaan saya, “Apa yang harus saya lakukan apabila tidak langsung meninggalkan ATM saat itu? Selfie di depan mesin ATM dengan uang sejumlah Rp 950,000 dan slip transaksi di tangan? Atau menangis di depan kamera CCTV supaya terekam bukti bahwa saya sudah memeriksa dan menyadari kekurangan uang pada detik itu juga?” Pihak BRI tidak dapat melakukan tindakan apapun atas pengaduan kekurangan jumlah uang setelah nasabah meninggalkan kantor cabang, atau ATM dalam kasus saya. Atas penjelasan saya bahwa saat itu hari libur, kantor cabang BRI tersebut sedang tidak beroperasi, dan bahkan tidak terlihat seorang satpam pun di lokasi, pihak BRI pun mengatakan bahwa saya telah bersalah karena tidak berinisiatif untuk mengetuk pintu  kantor terlebih dahulu untuk melaporkan kejadian pada saat itu juga kepada satpam yang mereka yakini pasti sedang berada di dalam kantor. Mengetuk pintu kantor sebuah bank yang sudah jelas menggantungkan tulisan “TUTUP/CLOSED” di pintunya pun menurut hemat saya sudah cukup konyol, ditambah lagi dengan sebuah keraguan, “Sejauh apa wewenang dan apa yang dapat dilakukan oleh seorang satpam sebuah bank yang sedang tidak beroperasi untuk menindaklanjuti laporan saya pada saat itu?” Pihak BRI tidak memiliki prosedur yang memungkinkan saya untuk melakukan pengaduan resmi supaya kasus tersebut ditindaklanjuti setidaknya agar tidak menimpa nasabah yang lain. Setiap kali saya menjelaskan bahwa saya tidak lagi mempermasalahkan kekurangan uang Rp 50,000 dan melalui pengaduan tersebut hanya ingin memastikan agar pihak BRI melakukan investigasi dan perbaikan atas proses yang terkait, jawaban petugas selalu kembali ke poin no 1 dan 2 diatas, seolah-olah saya melakukan semua ini hanya demi  mendapatkan uang Rp 50,000 (yang sebenarnya memang hak saya). Dengan tidak memperdulikan (atau mungkin tidak memahami, dikarenakan kemampuan komunikasi yang kurang memadai) maksud baik nasabah, petugas justru bertahan dengan argumen yang cenderung memojokkan nasabah tanpa menawarkan solusi, sehingga sangat jauh dari kesan “BRI Melayani dengan Hati”.                   Kesimpulan akhir yang dapat saya tarik dari rangkaian peristiwa ini sebagai berikut: Transaksi melalui ATM BRI sangat tidak aman, sehingga apabila saya harus menggunakan jaringan ATM Bersama untuk melakukan transaksi perbankan, saya akan menggunakan ATM bank yang tergabung dalam jaringan ATM Bersama kecuali ATM BRI. Petugas customer service BRI, baik di Call BRI maupun di kantor cabang BRI, tidak menunjukkan kualitas pelayanan yang sesuai dengan slogan “BRI Melayani dengan Hati”. Bank BRI tidak memandang penting akan konsep perbaikan proses yang berkesinambungan (continuous process improvement),  bahkan apabila kekurangan atau kelalaian proses tersebut jelas dapat berpotensi merugikan nasabah sekalipun. Lestari Mahastuti


1982 dilihat