Surat Pembaca Indonesia

Kebijakan IMEI Kurang Proporsional

Finansial

Saya adalah korban dari misinformasi terkait kebijakan IMEI, dan sekarang memiliki empat perangkat selular yang tidak dapat digunakan. Berharap dengan menuliskan surat pembaca ini, ada solusi yang datang dari pembuat kebijakan atau operator telepon selular. Saya adalah WNI yang baru pulang tugas belajar negara, dan kembali ke Indonesia pada 10 Desember 2020. Sebelumnya tidak mengetahui secara persis aturan IMEI yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 2020. Beberapa hari setelah kedatangan, saya datang ke Grapari Telkomsel di Pondok Indah untuk mengurus nomor telepon selular dalam satu akun Halo Keluarga. Saat itu CS menginformasikan bahwa IMEI bisa diperpanjang setiap 90 hari, seandainya ponsel tidak bisa digunakan. Berdasarkan informasi ini saya tidak segera mengurus IMEI ke Bea Cukai, karena berasumsi bisa diperbaharui di Grapari. Singkat cerita, masa 90 hari berakhir dan saya datang ke Grapari Pondok Indah untuk mendaftar ulang IMEI, tapi dapat jawaban berbeda oleh CS yang berbeda. Bahwa IMEI tidak bisa diperpanjang dan harus mengurus ke kantor Bea Cukai. Keesokan harinya saya mendatangi kantor Bea Cukai Pasar Baru untuk mengurus masalah pajak bea masuk, tapi ditolak dengan alasan sudah lewat 60 hari. Kemudian disarankan untuk ke Kemkominfo untuk mengurusnya. Saya dan istri langsung ke Kemkominfo, dan petugas menyatakan bahwa pembukaan IMEI adalah otoritas Kemenperin. Saat itu juga kami ke Kemenperin di Jalan Gatot Subroto. Namun jawaban petugas informasi kementrian menganjurkan kami untuk kembali ke kantor Bea Cukai, karena sudah kelelahan dan hari menjelang sore, kami putuskan untuk mengurus kemudian. Selang beberapa hari saya mendatangi kantor Bea Cukai Pusat di Rawamangun untuk mengurus IMEI, lalu disarankan untuk ke kantor Bea Cukai bandara terdekat di Halim Perdanakusuma. Akhirnya saya dapat jawaban yang jelas dari petugas Bea Cukai bahwa aturan menyebutkan IMEI harus diurus sebelum 60 hari dan kalau lewat tidak ada "grace period." Bingung dengan jawaban ini, karena tidak ada alternatif lain untuk mengatasi masalah IMEI. Kebijakan ini terkesan draconian karena saya dianggap memasukkan barang ilegal (Black Market). Saat ini saya memiliki empat telepon selular yang tidak bisa digunakan oleh saya, istri dan dua anak yang melakukan PJJ. Telepon selular yang saya bawa juga bukan baru karena sudah digunakan selama tugas belajar. Saya tidak ada keinginan mensiasati aturan dan ketika ingin memenuhi aturan pintu ditutup tanpa ada alternatif penyelesaian. Status saya sebagai dosen PTN tentu tidak mudah untuk membeli empat perangkat sekaligus. Selain keterbatasan finansial, juga karena telepon yang ada masih sangat layak digunakan. Berharap ada yang mendengar dari pihak Bea Cukai, Kemkominfo atau Kemenperin karena kebijakan ini lintas instansi. Pihak Telkomsel juga saya harapkan membantu karena misinformasi terjadi sejak awal. Seandainya informasi tepat saya dapatkan sejak awal, maka masalah ini tidak akan terjadi. Saya berharap kejadian sama tidak berulang untuk WNI yang pulang dari tugas luar negeri apalagi yang statusnya pelajar. Secara pribadi saya mendukung kebijakan yang ada, namun pada kasus saya tidak ada alternatif penyelesaian yang bisa ditempuh. Saya selaku dosen PTN tentu membutuhkan telepon selular sebagai penunjang kegiatan perkuliahan, belum lagi untuk kedua anak yang menjalani PJJ. Semoga ada pihak yang mendengar dan membantu saya menyelesaikan masalah ini. Saat ini saya secara terdaftar memiliki nomor telepon dari Telkomsel, namun tidak dapat digunakan. (IRA)


401 dilihat